PEMERINTAH, MASYARAKAT, DAN HUKUM ;
Tinjauan Sejarah Masa Bani Umayyah
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu : H. Fakhrudin Aziz, Lc., PgD., MSI
Disusun Oleh
Latifatus Sifa (103111121)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
PEMERINTAH, MASYARAKAT
DAN HUKUM ;
Tinjauan Sejarah Masa Bani Umayyah
I.
PENDAHULUAN
Hubungan agama dan
politik selalu menjadi topik pembicaraan yang menarik, baik dalam golongan yang
berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan
sekuler. Munculnya wacana tersebut dianggap wajar, khususnya umat islam, karena
risalah Islam yang dibawa nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan
ajaran dan Undang- Undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Artinya, Islam menekankan terwujudnya
keselarasan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Karena itu islam mengandung
ajaran yang integratif antara tauhid, ibadah, akhlak dan moral, serta prinsip-
prinsip umum tentang kehidupan bermasyarkat.
Dalam
pemerintahan Rasulullah keteraturan pun tercipta dengan adanya konstitusi
Madinah yang dikenal dengan Piagam
Madinah, selanjutnya setelah Rasul wafat digantikan oleh Khulafaurrasyidin, pada masa Abu akar
As- shidiq, dan Umar bin Khattab, keteraturan Negara pun masih tercipta akan
tetapi pada masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib banyak terjadi konflik
yang membuat carut- marut, walaupun pada masa Usman pemberontakna tidak
sebanyak yang terjadi pada masa Ali.
Dalam makalah ini, penulis akan
secara khusus menggambarkan tentang kondisi kekuasaan pasca Ali, yaitu
kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah. Kekuasaan yang disinyalir diperoleh
dengan cara-cara licik dan proses diplomasi yang penuh dengan tipu muslihat.
Akan tetapi, sekejam bagaimanapun cara yang dipakai oleh Umayah untuk merebut
kekuasaan Islam, selama Bani Umayah berkuasa, layak untuk dibaca secara
obyektif bagaimana kondisi ril politik di masa itu, dan gerakan-gerakan oposisi
yang menyertai perjalanan kekuasaan Bani Umayah dalam setiap masa, karena
setelah Bani Umayah berkuasa, gerakan penyebaran Islam terus dilakukan seperti
yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Islam sebelumnya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana Sejarah Peralihan
Kekuasaan Bani Umayyah ?
B. Seperti Apa Posisi
Agama dan Negara Bani Umayyah ?
C. Bagaimana Legitimasi
Agama dan Perpolitikan Pada Masa Bani Umayyah ?
D. Apa Wujud Kebijakan
Keagamaan dari Masa ke Masa ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Peralihan Kekuasaan
Bani Umayyah
Keadaan
sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sangat tidak stabil karena terjadi
pemberontakan di mana- mana. Pemberontakan- pemberontakan itu, tidak dapat
diselesaikan hingga akhir kepemimpinannya, sehingga menyebabkan pecahnya umat
islam menjadi beberapa golongan dan sangat tidak menguntungkan bagi Ali.[1]
Pemberontakan itu antara lain adalah yang dilakukan Thalhah, zubair dan Aisyah.
Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut
terhadap darah usman yang ditumpahkan secara zalim.
Dalam
buku karangan Fatah Syukur yang berjudul Sejarah “Peradaban Islam”
mengungkapkan bahwa sejak dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah,
yang disebabkan karena pendirian Ali yang memberatkan Aisyah dalam peristiwa
aisyah tertuduh (hadistatul ifk).
Karena Abdullah sangat berambisi untuk menjadi khalifah maka dihasutlah aisyah
utnuk menceburkan diri dalam peperangan melawan Ali, perang tersebut terkenal
dengan nama Perang Jamal.
Bersamaan
dengan itu, kebijaksanaan- kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan perlawanan dari
gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat
tinggi pada masa Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan karena Ali
memecat mereka, mereka dianggap tidak melaksanakan amanat menjalankan
pemerintahan dengan baik.
Perang yang terjadi antara Mu’awiyah dan ali
disebut Perang Shiffin. Dalam peperangan yang terjadi dalam beberapa hari
tersebut, Ali dan pasukannya hampir memperoleh kemenangan, akan tetapi
Mu’awiyah dibantu oleh sahabatnya Amr bin Ash (seseorang yang dikenal licik)
tidak tinggal diam, mereka menawarkan perdamaian dengan tahkim (arbitrase). Keberanian Ali
untuk memutuskan tahkim yang kemudian dimenangkan oleh kubu Mu’awiyah bukan
malah menyelesaikan masalah. Pertama, Ali telah memberikan keputusan
yang salah, karena tahkim yang oleh kubu Ali diharapkan dapat menjadi pintu
mediasi antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah malah berbelok arah, karena
tahkim menjadi ajang politisasi untuk memenangkan Mu’awiyah atas Ali. Dengan
kecerdasan nalar politiknya, kubu Mua’wiyah telah memenangkan pertarungan -
secara politik - dengan Ali. Kedua, peristiwa tahkim di satu sisi telah
memunculkan tiga kekuatan politik yaitu, pengikut Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut
Ali) dan kubu baru yang terkenal dengan kaum khawarij, yaitu kubu yang keluar
dari kubu Ali dan menyatakan perlawanan terhadap Ali serta menyatakan kekuasaan
Ali telah menjadi kafir.
Keadaan ini tidak menguntungkan
Ali. Munculnya kelompok khawarij menyebabkan tentaranya semakin melemah, pada
tanggal 20 Ramadhan 40 H(660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota
khawarij yaitu Abdurrahman ibn Muljam. Perlu diketahui bahwa pada tahun 660 M,
terdapat tiga upaya pembunuhan yang direncanakan oleh orang Khawarij. Rencana
pembunuhan tersebut direncanakan serentak terhadap para petinggi Umat Islam,
yaitu Ali di Kufah, Mu’awiyah di Yerussalem, dan Amar di Fustat. Diantara tiga
orang tersebut, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Mu’awiyah gagal dibunuh karena
pada saat itu Mua’wiyah sudah mulai dijaga ketat oleh anak buahnya.
Kedudukan
Ali kemudian digantikan oleh anaknya Hasan ibn Ali selama beberapa bulan.
Namun, ternyata Hasan lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan
membuat perjanjian damai. Perjanjian ini
dapat mempersatukan umat islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di
bawah kekuasaan Mu’awiyah Ibn Abi sufyan.
Di sisi lain, perjanjian itu
menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam islam. Tahun 41 H(661 M)
menjadi tahun awal yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am Jama’ah). Dengan demikian
berakhirlah apa yang disebut masa khulafaurrasyidin,
dan dimulailah kekuasaan bani
Umayyah dalam sejarah perpolitikan Islam.[2]
Kekuasaan Bani umayyah berumur kurang lebih 90 Tahun. Khalifah pertamanya
adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dalam sejarah karier politiknya, Mu’awiyah
pada dasarnya termasuk politisi ulung yang mampu mengambil posisi kekuasaan
dalam setiap masa pemerintahan. Pada masa Ustman, betapa Mu’awiyah mampu
membangun koalisi nepotis dengan Ustman, sehingga dalam konteks kekuasaan
Ustman, Bani Umayah tetap menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara pada
masa-masa Ali, Mu’awiyah telah mulai melakukan gerakan politik untuk meraih
posisi puncak dalam kekuasaan. Mu’awiyah mampu memanfaatkan segala kelemahan
dan keluguan kekuasaan Ali.
Merasa mempunyai kepemimpinan
absolut dalam islam, Mu’awiyah segera mengambil langkah dengan memindahkan
pusat pemerintahan dari madinah ke Damaskus, memberi penghargaan terhadap
orang- orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak diantaranya yaitu
Amr bin Ash , kembali diangkat menjadi gubernur Mesir, menumpas orang- orang
yang beroposisi yang dianggap berbahaya yaitu kaum khawarij dan syiah.
Kebijaksanaan dan keputusan
politik penting yang dibuat oleh khalifah Mu’awiyah adalah mengubah sistem
pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi monarki
(kerajaan turun- temurun) dengan mengangkat anaknya sebagai khalifah. Ini
berarti dia meninggalkan tradisi pada zaman khulafaurrasyidin
dimana khalifah dipilih melalui umat islam.[3]
Dan pada masa ini rakyat menjadi jauh dari pemerintah, karena bersifat eksklusif (tertutup). Berikut ini adalah
daftar nama- nama khalifah yang berkuasa pada masa bani Umayyah :
NO
|
NAMA
|
MASA BERKUASA
|
1
|
Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan
|
661-681 M
|
2
|
Yazid
ibn Mu’awiyah
|
681-683 M
|
3
|
Mua’wiyah
ibnu Yazid
|
683-685
M
|
4
|
Marwan
ibnu Hakam
|
684-685
|
5
|
Abdul
Malik ibn Marwan
|
685-705
M
|
6
|
Al-Walid
ibnu Abdul Malik
|
705-715
M
|
7
|
Sulaiman
ibnu Abdul Malik
|
715-717
M
|
8
|
Umar ibnu Abdul Aziz
|
717-720 M
|
9
|
Yazid ibnu Abdul Malik
|
720-824 M
|
10
|
Hisyam ibnu Abdul Malik
|
724-743 M
|
11
|
Walid ibn Yazid
|
734-744 M
|
12
|
Yazid ibn Walid [ Yazid III]
|
744 M
|
13
|
Ibrahim ibn Malik
|
744 M
|
14
|
Marwan ibn Muhammad
|
745-750 M
|
Akan
tetapi, khalifah- khalifah dinasti Umayyah adalah, Muawiyyah bin abi sufyan (41-60 H /661-680 M), Abdul malik bin Marwan (65-86 H/ 685-705 M), Al-walid bin Abdul malik/ al-walid I (86-96 H/ 705-715 M), Umar bin bdul aziz ( 99-101 H/717-720 M).
B.
Posisi Agama dan Negara Bani
Umayyah
Dalam
Islam, agama dan Negara mempunyai pertalian yang erat, di dukung oleh fakta
sejarah selama Masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin
selama periode Madinah merupakan bukti- bukti yang kuat, bahwa agama islam
sejak lahirnya selalu berkaitan denagn aspek- aspek kenegaraan dan
kemasyarakatan.
Muhammad Thahir Azhary dalam bukunya “Negara Hukum” menggambarkan antara
Agama, Negara dan Hukum saling berkaitan, ini dikenal dengan “Teori Lingakaran
Konsentris”, Lingkaran itu terdiri dari tiga lapis, dikatakan bahwa agama
sebagai komponen pertama berada pada posisi paling dalam, karena agama merupakan sumber utama dari
hukum di samping rasio sebagai sumber kedua. Yang kedua adalah hukum, karena
hukumlah yang mengatur atau menata suatu Negara. Dan Negara berada di lapis
terakhir ini menunjukkan bahwa Negara berkaitan erat dengan hukum dan agama.
Di
dalam AlQur’an , terdapat ayat yang
menggariskan tentang prinsip-
prinsip Negara Hukum, salah satu prinsipnya ialah prinsip musyawarah.
Musyawarah adalah suatu prinsip dasar yang menjadi ciri khas nomokrasi islam, terdapat
dalam surah al- Syua’ara’/ 42:38 dan Ali Imran / 3:159 yang mempunyai kandungan
bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum
Nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para
sahabat.[4]
Bila
dikaitkan dengan pemerintahan Bani Umayyah, dinasti ini telah melakukan
beberapa penyimpangan dari masa khulafaurrayidin.
1). Jika khulafaurrayidin dipilih
melalui musyawarah, seperti pemilihan presiden, maka dinati tersebut merupakan
system pengangkatan raja- raja secara turun- temurun denagn mengangkat putra
mahkotanya. 2). Membuat lembaga khilafah bercorak istem monarki di mana pola
hidup khalifah seperti cara hidup kaisar atau raja. 3). Penggunaan gelar
khalifah yang berlebihan, seperti
khalifatullah. 4). Jika Khulafaurrasyidin
memperoleh kekuasaan dari rakyat, maka dinati umayyah, khalifah memperoleh
kekuasaan dari Allah. Pandangan bahwa kedaulatan khalifah berumber dari Allah
diokong oleh ebagian ulama yang berpendapat bahwa khalifah memperoleh
kedaulatannya dari rakyat. Rakyat menjadi sumber kekuasaannya dan yang
memilihnya untuk menduduki jabatan itu.[5]
Akan
tetapi pada masa pemerintahan Umar Bin abdul Azis, sikap memimpinnya yang
justru berbanding terbalik dengan khalifah- khalifah sebelumnya, beliau
khalifah ini dikenal jujur, sederhana adil dan bijaksana, kembali memakai
prinsip musyawarah dalam pemerintahannya, ini dibuktikan dalam mengambil keputusan- keputusan penting,
ia selalu nusyawarah dengan pembantunya, baik menteri, gubernur maupun pejabat-
pajabat lain yang terkait. Ini
menunjukkan sikap dan perhatiannya yang lebih pada kepentingan orang banyak
daripada kepentingan pribadi atau keluarganya.
Kepemimpinan
khlaifah Umar ibn Aziz selalu didasarkan pada prinsip musyawarah (syura) untuk mencapai mufakat dalam
menjalankan amanat rakyat. Menurutnya, syura
merupakan suatu kelaziman fitrah dan salah satu lembaga yang mampu menciptakan
stabilitas masyarakat. Syura bukan
tujuan itu sendiri, merupakan syari’at islam sebagai suatu media untuk
mewujudkan keadilan yang merata, dan sekaligus untuk mnecapai tujuan- tujuan
syariat agama (Islam). Oleh karena itu, syura
dapat diklasifikasikan sebagai salah satu cabang prinsip syari;at islam yang
berbeda dengan prinsip demokrasi. Setelah kepemimpinan Umar, yaitu yazid II, pemerintahan
kembali morat- marit karena beliau kurang memperhatikan aspirasi rakyat.[6]
C.
Legitimasi Agama dalam Perpolitikan Daulah Bani Umayyah
Karena
keputusan pada masa Muawiyah yang mengganti sistem pemerintahan menjadi
monarki, berdampak mendapat protes dari umat islam golongan syi’ah, pendukung
Ali, dan Abd al- Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubeir,
bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Mu’awiyah.
Mereka menyarankan agar ia mau mengikuti jejak Rasulullah atau Abu bakar atau Umar
dalam urusan khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Mu’awiyah tidak
mengubris saran ini.
Alasan yang dikemukakan karena ia
khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau
tidak mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Keputusan ini direkayasa seolah- olah Mu’awiyah
mendapat dukungan dari para pejabat penting pemerintah. Ia memanggil gubernur datang
ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung
keputusannya menerapkan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai
pengantinya kelak.
Walaupun
Mu’awiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap
memakai gelar khalifah. Bahkan mu’awiyah menyebut dirinya sebagai Amir al- Mu’minin. Dan status jabatan
khalifah diartikan sebagai “wakil Allah” dalam memimpin uamt dengan
mengaitkannya kepada al- Qur;an (surat Albaqarah ayat 30). Atas dasar ini
Dinasti menyatakan bahwa keputusan- keputusan khalifah didasarkan atas
perkenaan Allah. Siapa menentangnya adalah kafir.[7]
Pada
masa daulah Bani Umayyah terjadi beberapa pemberontakan atau konflik umat islam
seperti yang telah disebutkan diatas seperti aliran syi’ah, khawarij (lahir bukan karena
perpecahan paham keagamaan melainkan karena permasalahan politik yang tidak
sepaham pada masa Ali bin Abi thalib akan tetapi, di masa kini, lebih dikenal
dengan aliran keagamaan) dan juga muncul
aliran baru yaitu mawalli, akan tetapi, pada masa Umar bin Abdul Aziz gerakan
oposisi ini, dapat dirangkul kembali dan dapat hidup berdampingan dikarenakan
pada masa Umar beliau selalu berpihak pada kepentingan umat islam. Di bawah ini
pemberontakan- pemberontakan yang terjadi pada masa daulah bani umayyah :
a. Bani umayyah versus syi’ah
Kelompok syi’ah merupakan musuh bebuyutan
Bani Umayyah. Mereka berpendapat bahwa Ali dan keturunannya lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Pada
saat, Mu’awiyah membaiat anaknya Yazid sebagai khalifah, Mu’awiyah mengingkari
kesepakatana denagn Hasan bin Ali bahwa sepeninggal Mua’wiyah pemerintahan
harus dikembalikan kepada dewan syura kaum muslimin dan terserah kepada mereka
siapa yang akan mengisi kekosongan jabatan khalifah. Mereka langsung menyatakan
perang kepada bani umayyah dan akhirnya petarungan tidak dapat dihindarkan.
b. Pemberontakan Kaum Tawwabin
Diceritakan dalam peperangan antara
syi’ah dan bani umayyah ikut serta
Husaen bin Ali saudara dari Hasan bin Ali, yang juga tidak setuju dengan
pengangkatan Yazid sebagai khalifah, akan tetapi karena perang tersebut tidak
seimbang antara Husain dan Yazid, akhirnya Husein tewas denagn dipenggal
kepalanya (dikenal dengan peristiwa Karbela). Kelompok ini adalah kelompok syi’ah
yang terpukul dengan kejadian terbunuhnya Husein bin Ali. Pemberontakan ini
banyak menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak.
c. Pemberontakan Mukhtar bin Abi Ubaid
Mukhtar bin Ubaid memberontak Karena
menuntut darah Husain bin Ali, maka syi’ah pun ikud mendukung. Disamping itu,
kaum mawalli, juga berpihak
kepadanya, mereka ingin mewujudkan ambisinya karena selama ini orang- orang
Bani Umayyah memperlakukan mereka dengan perlakuan buruk yang bertentangan
dengan ajaran dan prinsip islam. Pemberontakan ini memperoleh kemenangan.
d. Pemberontakan kaum khawarij
Kaum khawarij mengguncang dan menimbulkan
masalah besar bagi bani Umayyah. Oleh karena itu, Bani Umayyah memeranginya
apalagi mereka membunuh penduduk Irak yang tak berdosa dan melarikan diri ke
pegunungan ketika diserang para gubernur Irak.[8]
Untuk, itu Bani Umayyah mengarahkan semua tenaga dan kekuatan untuk melawan
kaum khawarij dan akhirnya memenangi peperangan itu.
D.
Kebijakan Keagamaan dari Masa ke Masa
Pada
masa Daulah Bani Umayyah berjaya kebijakan dalam keagamaan tidak semuanya dilakukan oleh khalifah. Dari
pemerintahan Mu’awiyah bin Abi sufyan dilanjut oleh anaknya Yazid dan terus
dilanjutkan sampai marwan, hanya mementingkan ekspansi wilayah islam. Tidak ada
yang salah dengan kebijakan tersebut, karena memperluas wilayah juga perlu
dalam suatu pemerintahan. Akan tetapi, bagaimana dengan rakyat yang
dipimpinnya. Akan tetapi, setelah itu, pada masa khalifah Abdul Malik ibn
Marwan terdapat beberapa kebijakan keagamaan diantaranya menggunakan Bahasa
Arab sebagai bahasa resmi Negara, mencetak mata uang Arab dalam dirham, dinar
dan flas, pertama dalam sejarah Arab, tulisan menggunakan titik (.) dan koma
(,).
Lalu diteruskan oleh anaknya Al- Walid, mengalami
puncaknya pada ekspansi wilayah. Selain itu, Al- Walid juga mendirikan pusat-
pusat kajian Islam (al-Qur’an dan hadist) di Makakh, Madinah, Basrah, Kufah dan
tempat lainnya.[9] Selain
itu, membangun masjid bersejarah “Masjid
al -Umawi” yang melibatkan 120.000 arsitek Yunani dan Arab serta ahli
bangunan, perluasan pembangunan Masjid Nabawi, penyempurnaan bangunan “Dome of the rock” karya khalifah Abdul
malik ibn Marwan di bukit zion jerussalem yaitu bekas kuil Nabi Sulaeman, yang
sekarang dikenal dengan Masjid al- Aqsho.[10]
Pada
masa Umar bin Abdul Aziz beliau, mengatur para pengusaha dan pejabat negara ,
memberikan hak dan kewajiban terhadap orang Arab ataupun Mawali secara sejajar,
memecat pejabat yang KKN dan tidak cakap.[11] Menciptakan perdamaian antara penguasa dan
pejabat, menjalin hubungan yg baik dengan golongan syi’ah serta memberi
kebebasan pada penganut agama lain dalam beribadah. Pada zaman Umar bin Abdul
aziz juga menghapuskan kebijakan orang- orang non- Muslim (Yahudi, majusi,
Majusi) yang memperoleh jabatan pada masa Muawiyah dan khalifah- khalifah
setelahnya yang memberi posisi penting dalam pemerintahan.
Di
dalam Al- Qur’an memang terdapat peringatan- peringatan yang tidak membolehkan
orang- orang mukmin merekrut orang- orang Non- Muslim sebagai teman kepercayaan
dalam mengatur urusan orang- orang mukmin. Setelah masa kepemimpinanya
digantikan oleh Yazid II, kebijakan keagamaan berorientasi pada penumpasan
pemberontak, karena masa ini kembali lagi kacau balau,jadi oposisi kembali lagi
seperti semula. Begitu pula dengan
khalifah seterusnya yang lebih mementingkan kepentingan sendiri daripada rakyat
hingga mulai menampakkan kemunduran bani umayyah.
Selain itu, Pada
masa Bani Umayyah dalam bidang administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan
menyempurnakan dari pemerintahan khulafaurrasyidin,
di tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan departemen, al-katib, al- hajib dan diwan, lembaga al-katib terdiri dari kitab
ar- rasail, katib al- kharaj, katib
al- syurthat dan katib al- qadhi.
Para katib bertugas mengurus
administrasi Negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan Negara.
Al-hajib (pengawal dan kepala rumah
tangga istana), mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu
khalifah. Lembaga lain dalam bidang pelaksanaan hukum yaitu Al- Nizham al- qadhai terdiri dari tida
bagian, al- qadha,al- hisbat dan al-
mazhalim. Badan al- qadha dipimpin
oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa- fatwa hukum dan peraturan yang
digali langsung dari Al- Qur’an , Sunnah Rasul atau ijma dan berdasarkan
ijtihad. Di dalam tubuh organisasi pemerintahan Dinasti Umayyah juga dibentuk
beberapa diwan atau departemen
diantaranya :
1.
Diwan al- rasail, (departemen
mengurus surat-surat Negara dari khalifah ke gubernur)
2.
Diwan al- khatim, (departemen
pencatatan keputusan khalifah)
3.
Diwan al- kharaj, (departemen
pendapatan negara)
4.
Diwan al- Barid, (departemen
pelayanan pos)
Tokoh Bani
Umayyah yang terakhir adalah Marwan ibn Muhammad. Ia terkenal dengan julukan marwan al- Himar (manusia keledai).
Sebenarnya ia orang yang besar , tetapi ia muncul pada saat bani umayyah sedang
merosot dan diambang kehancuran dan akhirnya digulingkan oleh Bani Abbasiyyah.
IV.
ANALISIS
Nama ” Daulah
Umayah” sendiri berasal dari nama ” Umayah ibnu” Abdi Syam ibnu ”Abdi Manaf”,
yaitu salah seorang dari pemimpin Quraiys di zaman Jahiliyah. Bani Umayah
merupakan keturunan Umayah, yang masih memiliki ikatan famili dengan para
pendahulu Nabi. Naiknya bani Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh Mu’awiyah
ibnu Abi Sufyan, salah seorang keturunan bani umayah dan salah seorang sahabat
Nabi. Awal
pendirian masa daulah Bani Umayyah terjadi karena perpolitikkan busuk yang
dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi sufyan. Tragedi pembunuhan oleh kaum ekstrimis
terhadap Ali semakin menguatkan tentang adanya praktik keji dalam politik
sejarah Islam, sejak Umar, Ustman dan Ali.
Pergolakan politik yang tajam dan
perebutan kekuasaan yang keras, telah meruntuhkan sendi-sendi ajaran Islam yang
sebenarnya. Logika politik bahwa halal menggunakan segala cara untuk
kepentingan politik, termasuk menggunakan cara pembunuhan menjadi saksi kelam
dalam sejarah politik umat Islam. Ali kemudian terbunuh menyusul pembunuhan
yang dilakukan pada Umar dan Ustman. Setelah kematian Ali, Mu’awiyah mengambil
alih kekuasaan. Mu’awiyah terus melakukan konsolidasi kekuasaan di Syria,
dengan memindah ibu kota dari Madinah ke Damaskus. Dari luar Jazirah Arab,
Mu’awiyah membangun kekuatannya untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pada masa Ali masih berkuasa,
Mu’awiyah telah memiliki kekuatan penuh, sehingga pada saat Ali terbunuh,
Mu’awiyah langsung mengambil alih kekuasaan dengan sangat mudah dan
terkordinasi dengan baik. Salah satu kepekaan nalar politik Mu’awiyah ialah
mampu belajar pada pengalaman yang terjadi pada tiga khalifah sebelumnya, yang
berakhir dengan pembunuhan. Pilihan memindahkan kekuasaan ke luar Jazirah Arab,
menunjukkan sikap dan kecerdasan politik Mu’awiyah dalam menghindari pergolakan
antar kubu yang sangat tragis di kalangan umat Islam di jazirah Arab bahkan
sebagai upaya untuk menghindari tragedi pembunuhan yang dilakukan terhadap tiga
khalifah sebelumnya.
Dalam masa peralihan juga umat islam
terpecah menjadi tiga, yaitu, pengikut Ali (syi’ah), khawarij (golongan non Mu’awiyah
dan Ali), dan pengikut Mu’awiyah, akan tetapi ada yang mengatakan terbagi
menjdi empat golongan, yaitu ditambah denagn golongan yang diam, atau tidak
berpihak kepada siapapun. Pada zaman masa Bani Umayyah memang terjadi
politisasi agama, agama dijadikan sebagai alasan atau kambing hitam oleh
kepentingan politik. Sebenarnya, golongan yang telah disebutkan diatas bukan
merupakan golongan keagamaan tetapi termasuk golongan karena perpecahan politik
pada waktu itu, tetapi, di masa kini aliran tersebut lebih condong disebut
dengan aliran keagamaan.
Menjadikan sistem pemerintahan menjadi monarkhi dan
mengingkari prinsip musyawarah yang telah termaktub dalam al- Qur’an juga
merupakan langkah politik yang ditempuh oleh khalifah pertama dari Bani Umayyah.
Kita tidak bisa menilai masa daulah umayyah sebagai suatu keburukan saja, akan
tetapi, kita harus memandang dari kacamata positif lainnya, yaitu kemajuan –
kemajuan yang dicapai, disamping keburukan sistem berpolitik pada masa bani
umayyah ada dari beberapa khalifah yang berusaha menghilangkan citra buruk dari
perpolitikan di kala itu, yaitu Umar bin Abdul Aziz, beliau lebih ingin menata
keteraturan negaranya, memperbaiki stabilitas nasional dari konflik daripadi
ekspansi wilayah.
Dalam bidang bidang keamaan khalifah Abdul Malik ibn Marwan
dan anaknya Al- Walid, khalifah setelah itu, membuat kemajuan yang luar biasa
yaitu, menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi negara dan membuat mata uang
dengan tulisan arab, serta ndirikan pusat- pusat kajian
Islam (al-Qur’an dan hadist) di Makakh, Madinah, basrah, Kufah. Akan tetapi, dalam
garis besar, dinasti ini tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan.
Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai
pejuang islam.
Masa daulah Bani Umayyah juga mempunyai lembaga-
lembaga pemerintahan untuk mengatur negaranya agar sedapat mungkin
mensejahterakan rakyatnya. Bani Umayah tetaplah bagian penting dan
menarik dalam sejarah umat Islam yang harus terus dijadikan sebagai pengalaman
sangat berharga, karena tidak semua yang dilakukan Bani Umayah itu jelek,
tetapi juga memiliki sisi penting yang harus ditiru oleh umat Islam. Kekuasaan
Bani Umayah yang hampir seabad lamanya dalam memimpin umat Islam, tetaplah
sebuah prestasi yang harus diapreasi secara kritis.
Bila dikaitkan dengan Fiqh Siyasah
yang kita kaji, bahwa pada dinasti Umayyah secara keseluruhan tidak menciptakan
keteraturan dalam pemerintahan. Tujuan fiqih siyasah sendiri, adalah
menciptakan keteraturan dalam bernegara. Hal ini, tidak dilihat dalam pemerintahannya,
banyak sekali pemberontakan- pemberontakan, ini membuktikan bahwa tidak
terciptanya stabilitas keamanan dan perlindungan bagi rakyat sebagai warga
negara.
V.
KESIMPULAN
Setelah adanya tahkim (arbitrase)
kekuasaan Ali menurun, dan Mu’awiyah meningkat. Menimbulkan beberapa golongan
politik, yaitu pengikut Mu’awiyah, aliran Syi’ah pengikut Ali dan khawarij yang
menentang Ali dan Mu’awiyah. Apalagi setelah Ali meninggal oleh kaum khawarij,
dan diangkatnya Hasan yang lemah (anak Ali bin Abi Thalib) pun tak bias
mengembalikan kejayaan seperti dulu, akhirnya ditunjuklah mu’awiyah sebagai
khalifah baru denagn sebuah perjanjian. Dengan demikian
berakhirlah apa yang disebut masa khulafaurrasyidin,
dan dimulailah kekuasaan bani
Umayyah dalam sejarah perpolitikan Islam. Kekuasaan Bani umayyah berumur kurang
lebih 90 Tahun, yaitu pada tahun 661 M- 750 M. Dengan khalifah pertamanya
mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Sistem pemerintahan pada masa bani
umayyah diganti denagn monarki ini berarti berbeda dengan sebelumnya pada masa
Rrasulullah dan khulafaurrasyidin
yang bersistem demokrasi dan keberpihakan pada umat. Pada masa daulah
Bani Umayyah terjadi beberapa pemberontakan atau konflik umat islam seperti
yang telah disebutkan diatas seperti aliran
syi’ah, khawarij, tawwabin dan pemberontakan Mukhtar bin Abi Ubaid.
VI.
PENUTUP
Segala puji bagi
Allah SWT. Atas rahmat-Nya yang telah mengizinkan hamba-Nya untuk menyelesaikan
makalah ini. Saya menyadari bahwa dalam
sistematika penulisan maupun isinya banyak kekurangan dan kesalahan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan saya semoga makalah ini
memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada
khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah, Rohadi. Meniti Kearifan Politik Umar Bin Abdul Aziz.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2003
Al-
Wakil, Muhammad Sayyid . Wajah Dunia
Islam. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar. 1998
Azhary,
Muhammad Thahir. Negara Hukum. Jakarta:
Bulan Bintang 1992
Khoiriyyah.
Reorientai Wawasan
Sejarah Islam—dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam.
Yogyakarta :Teras.TT
Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: PT. Grafindo Persada.1994
Sholikhin,
M. Sejarah Peradaban Islam. Semarang:
Rasail. 2005
Syukur,
Fatah. Sejarah Peradaban Islam.
Semarang :PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA. 2011
Yatim,
Badri. Sejarah peradaban Islam.
Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2003
[1] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang :PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2011), Hlm. 63
[2]
Badri yatim, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2003), Hlm. 40-41
[3]
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: PT. Grafindo Persada,1994),Hlm. 164
[4]
Muhammad Thahir Azhary, Negara Hukum,(Jakarta: Bulan Bintang,
1992), Hlm. 82
[5]
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Hlm. 58
[6] Rohadi Abdul Fatah, Meniti Kearifan Politik Umar Bin Abdul Aziz,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), Hlm. 96
[7]Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
hlm. 167- 168
[8]
Muhammad Sayyid Al- Wakil, Wajah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1998), Hlm. 47- 59
[10]
M.Sholikhin, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang:Rasail,
2005), Hlm. 39
[11] Khoiriyyah
M.Ag., Reorientai wawasan Sejarah
Islam—dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam, (Yogyakarta :
Teras), cet.1, hlm.75
[12]Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,hlm.
168-170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar