Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 01 Mei 2013

PEMERINTAH, MASYARAKAT, DAN HUKUM ; Tinjauan Sejarah Masa Bani Umayyah


PEMERINTAH, MASYARAKAT, DAN HUKUM ;
Tinjauan Sejarah Masa Bani Umayyah

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu : H. Fakhrudin Aziz, Lc., PgD., MSI

   
             






Disusun Oleh

Latifatus Sifa             (103111121)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013




PEMERINTAH, MASYARAKAT DAN HUKUM ;
 Tinjauan Sejarah Masa Bani Umayyah

I.            PENDAHULUAN
               Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan yang menarik, baik dalam golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler. Munculnya wacana tersebut dianggap wajar, khususnya umat islam, karena risalah Islam yang dibawa nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan Undang- Undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Artinya, Islam menekankan terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Karena itu islam mengandung ajaran yang integratif antara tauhid, ibadah, akhlak dan moral, serta prinsip- prinsip umum tentang kehidupan bermasyarkat.
               Dalam pemerintahan Rasulullah keteraturan pun tercipta dengan adanya konstitusi Madinah yang dikenal dengan Piagam Madinah, selanjutnya setelah Rasul wafat digantikan oleh Khulafaurrasyidin, pada masa Abu akar As- shidiq, dan Umar bin Khattab, keteraturan Negara pun masih tercipta akan tetapi pada masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib banyak terjadi konflik yang membuat carut- marut, walaupun pada masa Usman pemberontakna tidak sebanyak yang terjadi pada masa Ali. 
               Dalam makalah ini, penulis akan secara khusus menggambarkan tentang kondisi kekuasaan pasca Ali, yaitu kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah. Kekuasaan yang disinyalir diperoleh dengan cara-cara licik dan proses diplomasi yang penuh dengan tipu muslihat. Akan tetapi, sekejam bagaimanapun cara yang dipakai oleh Umayah untuk merebut kekuasaan Islam, selama Bani Umayah berkuasa, layak untuk dibaca secara obyektif bagaimana kondisi ril politik di masa itu, dan gerakan-gerakan oposisi yang menyertai perjalanan kekuasaan Bani Umayah dalam setiap masa, karena setelah Bani Umayah berkuasa, gerakan penyebaran Islam terus dilakukan seperti yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Islam sebelumnya.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Sejarah Peralihan Kekuasaan Bani Umayyah ?
B.     Seperti Apa Posisi Agama dan Negara Bani Umayyah ?
C.    Bagaimana Legitimasi Agama dan Perpolitikan Pada Masa Bani Umayyah ?
D.    Apa Wujud Kebijakan Keagamaan dari Masa ke Masa ?

III.            PEMBAHASAN
A.    Sejarah Peralihan Kekuasaan Bani Umayyah
               Keadaan sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sangat tidak stabil karena terjadi pemberontakan di mana- mana. Pemberontakan- pemberontakan itu, tidak dapat diselesaikan hingga akhir kepemimpinannya, sehingga menyebabkan pecahnya umat islam menjadi beberapa golongan dan sangat tidak menguntungkan bagi Ali.[1] Pemberontakan itu antara lain adalah yang dilakukan Thalhah, zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut terhadap darah usman yang ditumpahkan secara zalim.  
               Dalam buku karangan Fatah Syukur yang berjudul Sejarah “Peradaban Islam” mengungkapkan bahwa sejak dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah, yang disebabkan karena pendirian Ali yang memberatkan Aisyah dalam peristiwa aisyah tertuduh (hadistatul ifk). Karena Abdullah sangat berambisi untuk menjadi khalifah maka dihasutlah aisyah utnuk menceburkan diri dalam peperangan melawan Ali, perang tersebut terkenal dengan nama Perang Jamal.
               Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan- kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi pada masa Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan karena Ali memecat mereka, mereka dianggap tidak melaksanakan amanat menjalankan pemerintahan dengan baik.
                Perang yang terjadi antara Mu’awiyah dan ali disebut Perang Shiffin. Dalam peperangan yang terjadi dalam beberapa hari tersebut, Ali dan pasukannya hampir memperoleh kemenangan, akan tetapi Mu’awiyah dibantu oleh sahabatnya Amr bin Ash (seseorang yang dikenal licik) tidak tinggal diam, mereka menawarkan perdamaian dengan tahkim (arbitrase). Keberanian Ali untuk memutuskan tahkim yang kemudian dimenangkan oleh kubu Mu’awiyah bukan malah menyelesaikan masalah. Pertama, Ali telah memberikan keputusan yang salah, karena tahkim yang oleh kubu Ali diharapkan dapat menjadi pintu mediasi antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah malah berbelok arah, karena tahkim menjadi ajang politisasi untuk memenangkan Mu’awiyah atas Ali. Dengan kecerdasan nalar politiknya, kubu Mua’wiyah telah memenangkan pertarungan - secara politik - dengan Ali. Kedua, peristiwa tahkim di satu sisi telah memunculkan tiga kekuatan politik yaitu, pengikut Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali) dan kubu baru yang terkenal dengan kaum khawarij, yaitu kubu yang keluar dari kubu Ali dan menyatakan perlawanan terhadap Ali serta menyatakan kekuasaan Ali telah menjadi kafir.
               Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok khawarij menyebabkan tentaranya semakin melemah, pada tanggal 20 Ramadhan 40 H(660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota khawarij yaitu Abdurrahman ibn Muljam. Perlu diketahui bahwa pada tahun 660 M, terdapat tiga upaya pembunuhan yang direncanakan oleh orang Khawarij. Rencana pembunuhan tersebut direncanakan serentak terhadap para petinggi Umat Islam, yaitu Ali di Kufah, Mu’awiyah di Yerussalem, dan Amar di Fustat. Diantara tiga orang tersebut, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Mu’awiyah gagal dibunuh karena pada saat itu Mua’wiyah sudah mulai dijaga ketat oleh anak buahnya.
               Kedudukan Ali kemudian digantikan oleh anaknya Hasan ibn Ali selama beberapa bulan. Namun, ternyata Hasan lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai.  Perjanjian ini dapat mempersatukan umat islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah kekuasaan Mu’awiyah Ibn Abi sufyan.
               Di sisi lain, perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam islam. Tahun 41 H(661 M) menjadi tahun awal yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am Jama’ah). Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut masa khulafaurrasyidin, dan dimulailah kekuasaan bani Umayyah dalam sejarah perpolitikan Islam.[2] Kekuasaan Bani umayyah berumur kurang lebih 90 Tahun. Khalifah pertamanya adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dalam sejarah karier politiknya, Mu’awiyah pada dasarnya termasuk politisi ulung yang mampu mengambil posisi kekuasaan dalam setiap masa pemerintahan. Pada masa Ustman, betapa Mu’awiyah mampu membangun koalisi nepotis dengan Ustman, sehingga dalam konteks kekuasaan Ustman, Bani Umayah tetap menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara pada masa-masa Ali, Mu’awiyah telah mulai melakukan gerakan politik untuk meraih posisi puncak dalam kekuasaan. Mu’awiyah mampu memanfaatkan segala kelemahan dan keluguan kekuasaan Ali.
               Merasa mempunyai kepemimpinan absolut dalam islam, Mu’awiyah segera mengambil langkah dengan memindahkan pusat pemerintahan dari madinah ke Damaskus, memberi penghargaan terhadap orang- orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak diantaranya yaitu Amr bin Ash , kembali diangkat menjadi gubernur Mesir, menumpas orang- orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya yaitu kaum khawarij dan syiah.  
               Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh khalifah Mu’awiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi monarki (kerajaan turun- temurun) dengan mengangkat anaknya sebagai khalifah. Ini berarti dia meninggalkan tradisi pada zaman khulafaurrasyidin dimana khalifah dipilih melalui umat islam.[3] Dan pada masa ini rakyat menjadi jauh dari pemerintah, karena bersifat eksklusif (tertutup). Berikut ini adalah daftar nama- nama khalifah yang berkuasa pada masa bani Umayyah :
NO
NAMA
MASA BERKUASA
1
Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan
661-681 M
2
Yazid ibn Mu’awiyah
681-683 M
3
Mua’wiyah ibnu Yazid
683-685 M
4
Marwan ibnu Hakam
684-685
5
Abdul Malik ibn Marwan
685-705 M
6
Al-Walid ibnu Abdul Malik
705-715 M
7
Sulaiman ibnu Abdul Malik
715-717 M
8
Umar ibnu Abdul Aziz
717-720 M
9
Yazid ibnu Abdul Malik
720-824 M
10
Hisyam ibnu Abdul Malik
724-743 M
11
Walid ibn Yazid
734-744 M
12
Yazid ibn Walid [ Yazid III]
744 M
13
Ibrahim ibn Malik
744 M
14
Marwan ibn Muhammad
745-750 M

        Akan tetapi, khalifah- khalifah dinasti Umayyah adalah, Muawiyyah bin abi sufyan (41-60 H /661-680 M), Abdul malik bin Marwan (65-86 H/ 685-705 M), Al-walid bin Abdul malik/ al-walid I (86-96 H/ 705-715 M), Umar bin bdul aziz ( 99-101 H/717-720 M).
B.     Posisi Agama dan Negara Bani Umayyah
               Dalam Islam, agama dan Negara mempunyai pertalian yang erat, di dukung oleh fakta sejarah selama Masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin selama periode Madinah merupakan bukti- bukti yang kuat, bahwa agama islam sejak lahirnya selalu berkaitan denagn aspek- aspek kenegaraan dan kemasyarakatan.
Muhammad Thahir Azhary dalam  bukunya “Negara Hukum” menggambarkan antara Agama, Negara dan Hukum saling berkaitan, ini dikenal dengan “Teori Lingakaran Konsentris”, Lingkaran itu terdiri dari tiga lapis, dikatakan bahwa agama sebagai komponen pertama berada pada posisi paling dalam,  karena agama merupakan sumber utama dari hukum di samping rasio sebagai sumber kedua. Yang kedua adalah hukum, karena hukumlah yang mengatur atau menata suatu Negara. Dan Negara berada di lapis terakhir ini menunjukkan bahwa Negara berkaitan erat dengan hukum dan  agama.
               Di dalam AlQur’an , terdapat ayat yang  menggariskan  tentang prinsip- prinsip Negara Hukum, salah satu prinsipnya ialah prinsip musyawarah. Musyawarah adalah suatu prinsip dasar yang menjadi ciri khas nomokrasi islam, terdapat dalam surah al- Syua’ara’/ 42:38 dan Ali Imran / 3:159 yang mempunyai kandungan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat.[4]
               Bila dikaitkan dengan pemerintahan Bani Umayyah, dinasti ini telah melakukan beberapa penyimpangan dari masa khulafaurrayidin. 1). Jika khulafaurrayidin dipilih melalui musyawarah, seperti pemilihan presiden, maka dinati tersebut merupakan system pengangkatan raja- raja secara turun- temurun denagn mengangkat putra mahkotanya. 2). Membuat lembaga khilafah bercorak istem monarki di mana pola hidup khalifah seperti cara hidup kaisar atau raja. 3). Penggunaan gelar khalifah  yang berlebihan, seperti khalifatullah. 4). Jika Khulafaurrasyidin memperoleh kekuasaan dari rakyat, maka dinati umayyah, khalifah memperoleh kekuasaan dari Allah. Pandangan bahwa kedaulatan khalifah berumber dari Allah diokong oleh ebagian ulama yang berpendapat bahwa khalifah memperoleh kedaulatannya dari rakyat. Rakyat menjadi sumber kekuasaannya dan yang memilihnya untuk menduduki jabatan itu.[5]
               Akan tetapi pada masa pemerintahan Umar Bin abdul Azis, sikap memimpinnya yang justru berbanding terbalik dengan khalifah- khalifah sebelumnya, beliau khalifah ini dikenal jujur, sederhana adil dan bijaksana, kembali memakai prinsip musyawarah dalam pemerintahannya, ini dibuktikan  dalam mengambil keputusan- keputusan penting, ia selalu nusyawarah dengan pembantunya, baik menteri, gubernur maupun pejabat- pajabat  lain yang terkait. Ini menunjukkan sikap dan perhatiannya yang lebih pada kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi atau keluarganya.
               Kepemimpinan khlaifah Umar ibn Aziz selalu didasarkan pada prinsip musyawarah (syura) untuk mencapai mufakat dalam menjalankan amanat rakyat. Menurutnya, syura merupakan suatu kelaziman fitrah dan salah satu lembaga yang mampu menciptakan stabilitas masyarakat. Syura bukan tujuan itu sendiri, merupakan syari’at islam sebagai suatu media untuk mewujudkan keadilan yang merata, dan sekaligus untuk mnecapai tujuan- tujuan syariat agama (Islam). Oleh karena itu, syura dapat diklasifikasikan sebagai salah satu cabang prinsip syari;at islam yang berbeda dengan prinsip demokrasi. Setelah kepemimpinan Umar, yaitu yazid II, pemerintahan kembali morat- marit karena beliau kurang memperhatikan aspirasi rakyat.[6]   
C.     Legitimasi Agama dalam Perpolitikan Daulah Bani Umayyah
               Karena keputusan pada masa Muawiyah yang mengganti sistem pemerintahan menjadi monarki, berdampak mendapat protes dari umat islam golongan syi’ah, pendukung Ali, dan Abd al- Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubeir, bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Mu’awiyah. Mereka menyarankan agar ia mau mengikuti jejak Rasulullah atau Abu bakar atau Umar dalam urusan khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Mu’awiyah tidak mengubris saran ini.  
               Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau tidak mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya.  Keputusan ini direkayasa seolah- olah Mu’awiyah mendapat dukungan dari para pejabat penting pemerintah. Ia memanggil gubernur datang ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya menerapkan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai pengantinya kelak.
               Walaupun Mu’awiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan mu’awiyah menyebut dirinya sebagai Amir al- Mu’minin. Dan status jabatan khalifah diartikan sebagai “wakil Allah” dalam memimpin uamt dengan mengaitkannya kepada al- Qur;an (surat Albaqarah ayat 30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan- keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa menentangnya adalah kafir.[7]
               Pada masa daulah Bani Umayyah terjadi beberapa pemberontakan atau konflik umat islam seperti yang telah disebutkan diatas seperti aliran  syi’ah, khawarij (lahir bukan karena perpecahan paham keagamaan melainkan karena permasalahan politik yang tidak sepaham pada masa Ali bin Abi thalib akan tetapi, di masa kini, lebih dikenal dengan aliran keagamaan)  dan juga muncul aliran baru yaitu mawalli, akan tetapi, pada masa Umar bin Abdul Aziz gerakan oposisi ini, dapat dirangkul kembali dan dapat hidup berdampingan dikarenakan pada masa Umar beliau selalu berpihak pada kepentingan umat islam. Di bawah ini pemberontakan- pemberontakan yang terjadi pada masa daulah bani umayyah :


a.       Bani umayyah versus syi’ah
Kelompok syi’ah merupakan musuh bebuyutan Bani Umayyah. Mereka berpendapat bahwa Ali dan keturunannya  lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Pada saat, Mu’awiyah membaiat anaknya Yazid sebagai khalifah, Mu’awiyah mengingkari kesepakatana denagn Hasan bin Ali bahwa sepeninggal Mua’wiyah pemerintahan harus dikembalikan kepada dewan syura kaum muslimin dan terserah kepada mereka siapa yang akan mengisi kekosongan jabatan khalifah. Mereka langsung menyatakan perang kepada bani umayyah dan akhirnya petarungan tidak dapat dihindarkan.
b.      Pemberontakan Kaum Tawwabin
Diceritakan dalam peperangan antara syi’ah dan bani umayyah  ikut serta Husaen bin Ali saudara dari Hasan bin Ali, yang juga tidak setuju dengan pengangkatan Yazid sebagai khalifah, akan tetapi karena perang tersebut tidak seimbang antara Husain dan Yazid, akhirnya Husein tewas denagn dipenggal kepalanya (dikenal dengan peristiwa Karbela). Kelompok ini adalah kelompok syi’ah yang terpukul dengan kejadian terbunuhnya Husein bin Ali. Pemberontakan ini banyak menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak.
c.       Pemberontakan Mukhtar bin Abi Ubaid
Mukhtar bin Ubaid memberontak Karena menuntut darah Husain bin Ali, maka syi’ah pun ikud mendukung. Disamping itu, kaum mawalli, juga berpihak kepadanya, mereka ingin mewujudkan ambisinya karena selama ini orang- orang Bani Umayyah memperlakukan mereka dengan perlakuan buruk yang bertentangan dengan ajaran dan prinsip islam. Pemberontakan ini memperoleh kemenangan.
d.      Pemberontakan kaum khawarij
Kaum khawarij mengguncang dan menimbulkan masalah besar bagi bani Umayyah. Oleh karena itu, Bani Umayyah memeranginya apalagi mereka membunuh penduduk Irak yang tak berdosa dan melarikan diri ke pegunungan ketika diserang para gubernur Irak.[8] Untuk, itu Bani Umayyah mengarahkan semua tenaga dan kekuatan untuk melawan kaum khawarij dan akhirnya memenangi peperangan itu.                    
D.    Kebijakan Keagamaan dari Masa ke Masa
              Pada masa Daulah Bani Umayyah berjaya kebijakan dalam keagamaan  tidak semuanya dilakukan oleh khalifah. Dari pemerintahan Mu’awiyah bin Abi sufyan dilanjut oleh anaknya Yazid dan terus dilanjutkan sampai marwan, hanya mementingkan ekspansi wilayah islam. Tidak ada yang salah dengan kebijakan tersebut, karena memperluas wilayah juga perlu dalam suatu pemerintahan. Akan tetapi, bagaimana dengan rakyat yang dipimpinnya. Akan tetapi, setelah itu, pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan terdapat beberapa kebijakan keagamaan diantaranya menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara, mencetak mata uang Arab dalam dirham, dinar dan flas, pertama dalam sejarah Arab, tulisan menggunakan titik (.) dan koma (,).  
              Lalu diteruskan oleh anaknya Al- Walid, mengalami puncaknya pada ekspansi wilayah. Selain itu, Al- Walid juga mendirikan pusat- pusat kajian Islam (al-Qur’an dan hadist) di Makakh, Madinah, Basrah, Kufah dan tempat lainnya.[9] Selain itu, membangun masjid bersejarah “Masjid al -Umawi” yang melibatkan 120.000 arsitek Yunani dan Arab serta ahli bangunan, perluasan pembangunan Masjid Nabawi, penyempurnaan bangunan “Dome of the rock” karya khalifah Abdul malik ibn Marwan di bukit zion jerussalem yaitu bekas kuil Nabi Sulaeman, yang sekarang dikenal dengan Masjid al- Aqsho.[10]
              Pada masa Umar bin Abdul Aziz beliau, mengatur para pengusaha dan pejabat negara , memberikan hak dan kewajiban terhadap orang Arab ataupun Mawali secara sejajar, memecat pejabat yang KKN dan tidak cakap.[11] Menciptakan perdamaian antara penguasa dan pejabat, menjalin hubungan yg baik dengan golongan syi’ah serta memberi kebebasan pada penganut agama lain dalam beribadah. Pada zaman Umar bin Abdul aziz juga menghapuskan kebijakan orang- orang non- Muslim (Yahudi, majusi, Majusi) yang memperoleh jabatan pada masa Muawiyah dan khalifah- khalifah setelahnya yang memberi posisi penting dalam pemerintahan.  
              Di dalam Al- Qur’an memang terdapat peringatan- peringatan yang tidak membolehkan orang- orang mukmin merekrut orang- orang Non- Muslim sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan orang- orang mukmin. Setelah masa kepemimpinanya digantikan oleh Yazid II, kebijakan keagamaan berorientasi pada penumpasan pemberontak, karena masa ini kembali lagi kacau balau,jadi oposisi kembali lagi seperti semula. Begitu pula dengan khalifah seterusnya yang lebih mementingkan kepentingan sendiri daripada rakyat hingga mulai menampakkan kemunduran bani umayyah.
              Selain itu, Pada masa Bani Umayyah dalam bidang administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan menyempurnakan dari pemerintahan khulafaurrasyidin, di tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan departemen, al-katib, al- hajib dan diwan, lembaga al-katib terdiri dari kitab ar- rasail, katib al- kharaj, katib al- syurthat dan katib al- qadhi.
               Para katib bertugas mengurus administrasi Negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan Negara. Al-hajib (pengawal dan kepala rumah tangga istana), mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu khalifah. Lembaga lain dalam bidang pelaksanaan hukum yaitu Al- Nizham al- qadhai terdiri dari tida bagian, al- qadha,al- hisbat dan al- mazhalim. Badan al- qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa- fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari Al- Qur’an , Sunnah Rasul atau ijma dan berdasarkan ijtihad. Di dalam tubuh organisasi pemerintahan Dinasti Umayyah juga dibentuk beberapa diwan atau departemen diantaranya :
1.      Diwan al- rasail, (departemen mengurus surat-surat Negara dari khalifah ke gubernur)
2.      Diwan al- khatim, (departemen pencatatan keputusan khalifah)
3.      Diwan al- kharaj, (departemen pendapatan negara)
4.      Diwan al- Barid, (departemen pelayanan pos)
5.      Diwan al-Jund, (departemen pertahanan).[12]
              Tokoh Bani Umayyah yang terakhir adalah Marwan ibn Muhammad. Ia terkenal dengan julukan marwan al- Himar (manusia keledai). Sebenarnya ia orang yang besar , tetapi ia muncul pada saat bani umayyah sedang merosot dan diambang kehancuran dan akhirnya digulingkan oleh Bani Abbasiyyah.  

IV.            ANALISIS
             Nama ” Daulah Umayah” sendiri berasal dari nama ” Umayah ibnu” Abdi Syam ibnu ”Abdi Manaf”, yaitu salah seorang dari pemimpin Quraiys di zaman Jahiliyah. Bani Umayah merupakan keturunan Umayah, yang masih memiliki ikatan famili dengan para pendahulu Nabi. Naiknya bani Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, salah seorang keturunan bani umayah dan salah seorang sahabat Nabi. Awal pendirian masa daulah Bani Umayyah terjadi karena perpolitikkan busuk yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi sufyan. Tragedi pembunuhan oleh kaum ekstrimis terhadap Ali semakin menguatkan tentang adanya praktik keji dalam politik sejarah Islam, sejak Umar, Ustman dan Ali.  
            Pergolakan politik yang tajam dan perebutan kekuasaan yang keras, telah meruntuhkan sendi-sendi ajaran Islam yang sebenarnya. Logika politik bahwa halal menggunakan segala cara untuk kepentingan politik, termasuk menggunakan cara pembunuhan menjadi saksi kelam dalam sejarah politik umat Islam. Ali kemudian terbunuh menyusul pembunuhan yang dilakukan pada Umar dan Ustman. Setelah kematian Ali, Mu’awiyah mengambil alih kekuasaan. Mu’awiyah terus melakukan konsolidasi kekuasaan di Syria, dengan memindah ibu kota dari Madinah ke Damaskus. Dari luar Jazirah Arab, Mu’awiyah membangun kekuatannya untuk mempertahankan kekuasaannya.
            Pada masa Ali masih berkuasa, Mu’awiyah telah memiliki kekuatan penuh, sehingga pada saat Ali terbunuh, Mu’awiyah langsung mengambil alih kekuasaan dengan sangat mudah dan terkordinasi dengan baik. Salah satu kepekaan nalar politik Mu’awiyah ialah mampu belajar pada pengalaman yang terjadi pada tiga khalifah sebelumnya, yang berakhir dengan pembunuhan. Pilihan memindahkan kekuasaan ke luar Jazirah Arab, menunjukkan sikap dan kecerdasan politik Mu’awiyah dalam menghindari pergolakan antar kubu yang sangat tragis di kalangan umat Islam di jazirah Arab bahkan sebagai upaya untuk menghindari tragedi pembunuhan yang dilakukan terhadap tiga khalifah sebelumnya.
            Dalam masa peralihan juga umat islam terpecah menjadi tiga, yaitu, pengikut Ali (syi’ah), khawarij (golongan non Mu’awiyah dan Ali), dan pengikut Mu’awiyah, akan tetapi ada yang mengatakan terbagi menjdi empat golongan, yaitu ditambah denagn golongan yang diam, atau tidak berpihak kepada siapapun. Pada zaman masa Bani Umayyah memang terjadi politisasi agama, agama dijadikan sebagai alasan atau kambing hitam oleh kepentingan politik. Sebenarnya, golongan yang telah disebutkan diatas bukan merupakan golongan keagamaan tetapi termasuk golongan karena perpecahan politik pada waktu itu, tetapi, di masa kini aliran tersebut lebih condong disebut dengan aliran keagamaan.  
            Menjadikan  sistem pemerintahan menjadi monarkhi dan mengingkari prinsip musyawarah yang telah termaktub dalam al- Qur’an juga merupakan langkah politik yang ditempuh oleh khalifah pertama dari Bani Umayyah. Kita tidak bisa menilai masa daulah umayyah sebagai suatu keburukan saja, akan tetapi, kita harus memandang dari kacamata positif lainnya, yaitu kemajuan – kemajuan yang dicapai, disamping keburukan sistem berpolitik pada masa bani umayyah ada dari beberapa khalifah yang berusaha menghilangkan citra buruk dari perpolitikan di kala itu, yaitu Umar bin Abdul Aziz, beliau lebih ingin menata keteraturan negaranya, memperbaiki stabilitas nasional dari konflik daripadi ekspansi wilayah.  
            Dalam bidang  bidang keamaan khalifah Abdul Malik ibn Marwan dan anaknya Al- Walid, khalifah setelah itu, membuat kemajuan yang luar biasa yaitu, menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi negara dan membuat mata uang dengan tulisan arab, serta ndirikan pusat- pusat kajian Islam (al-Qur’an dan hadist) di Makakh, Madinah, basrah, Kufah. Akan tetapi, dalam garis besar, dinasti ini tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang islam.
            Masa daulah Bani Umayyah juga mempunyai lembaga- lembaga pemerintahan untuk mengatur negaranya agar sedapat mungkin mensejahterakan rakyatnya. Bani Umayah tetaplah bagian penting dan menarik dalam sejarah umat Islam yang harus terus dijadikan sebagai pengalaman sangat berharga, karena tidak semua yang dilakukan Bani Umayah itu jelek, tetapi juga memiliki sisi penting yang harus ditiru oleh umat Islam. Kekuasaan Bani Umayah yang hampir seabad lamanya dalam memimpin umat Islam, tetaplah sebuah prestasi yang harus diapreasi secara kritis.
            Bila dikaitkan dengan Fiqh Siyasah yang kita kaji, bahwa pada dinasti Umayyah secara keseluruhan tidak menciptakan keteraturan dalam pemerintahan. Tujuan fiqih siyasah sendiri, adalah menciptakan keteraturan dalam bernegara. Hal ini, tidak dilihat dalam pemerintahannya, banyak sekali pemberontakan- pemberontakan, ini membuktikan bahwa tidak terciptanya stabilitas keamanan dan perlindungan bagi rakyat sebagai warga negara.

V.            KESIMPULAN
            Setelah adanya tahkim (arbitrase) kekuasaan Ali menurun, dan Mu’awiyah meningkat. Menimbulkan beberapa golongan politik, yaitu pengikut Mu’awiyah, aliran Syi’ah pengikut Ali dan khawarij yang menentang Ali dan Mu’awiyah. Apalagi setelah Ali meninggal oleh kaum khawarij, dan diangkatnya Hasan yang lemah (anak Ali bin Abi Thalib) pun tak bias mengembalikan kejayaan seperti dulu, akhirnya ditunjuklah mu’awiyah sebagai khalifah baru denagn sebuah perjanjian. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut masa khulafaurrasyidin, dan dimulailah kekuasaan bani Umayyah dalam sejarah perpolitikan Islam. Kekuasaan Bani umayyah berumur kurang lebih 90 Tahun, yaitu pada tahun 661 M- 750 M. Dengan khalifah pertamanya mu’awiyah bin Abi Sufyan.
            Sistem pemerintahan pada masa bani umayyah diganti denagn monarki ini berarti berbeda dengan sebelumnya pada masa Rrasulullah dan khulafaurrasyidin yang bersistem demokrasi dan keberpihakan pada umat. Pada masa daulah Bani Umayyah terjadi beberapa pemberontakan atau konflik umat islam seperti yang telah disebutkan diatas seperti aliran  syi’ah, khawarij, tawwabin dan pemberontakan Mukhtar bin Abi Ubaid.

VI.            PENUTUP
            Segala puji bagi Allah SWT. Atas rahmat-Nya yang telah mengizinkan hamba-Nya untuk menyelesaikan makalah ini. Saya  menyadari bahwa dalam sistematika penulisan maupun isinya banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan saya semoga makalah ini memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA



Abdul Fatah, Rohadi. Meniti Kearifan Politik Umar Bin Abdul Aziz. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2003
Al- Wakil, Muhammad Sayyid . Wajah Dunia Islam. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar. 1998
Azhary, Muhammad Thahir. Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang 1992
Khoiriyyah. Reorientai Wawasan Sejarah Islam—dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam. Yogyakarta :Teras.TT
Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT. Grafindo Persada.1994
Sholikhin, M. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Rasail. 2005
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang :PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA. 2011
Yatim, Badri. Sejarah peradaban Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2003



[1] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang :PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2011), Hlm. 63
[2] Badri yatim, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003), Hlm. 40-41
[3] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,1994),Hlm. 164
[4] Muhammad Thahir Azhary, Negara Hukum,(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Hlm. 82
[5] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Hlm. 58
[6] Rohadi Abdul Fatah, Meniti Kearifan Politik Umar Bin Abdul Aziz, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), Hlm. 96
[7]Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 167- 168
[8] Muhammad Sayyid Al- Wakil, Wajah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1998), Hlm. 47- 59

[10] M.Sholikhin, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang:Rasail, 2005), Hlm. 39
[11] Khoiriyyah M.Ag., Reorientai wawasan Sejarah Islam—dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam, (Yogyakarta : Teras), cet.1, hlm.75
[12]Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,hlm. 168-170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar