Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 11 Juli 2013

korupsi again



Setujukah PT disebut pencetak korupsi?

Mendengar pernyataan ketua DPR Marzuki Ali saat beliau diundang menjadi pembicara di Universitas Indonesia selasa lalu, memang menimbulkan banyak pertanyaan di benak masyarakat. Dalam sepenggal pidatonya, dia menyebutkan bahwa para koruptor di Indonesia banyak lahir dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Apakah benar perguruan tinggi (PT) yang kita kenal sebagai pencetak tenaga berpendidikan bisa jadi bibit- bibit baru tumbuhnya korupsi?
Kita  sebagai masyarakat yang cerdas tentu bisa menilai, bagaimana Perguruan Tinggi bekerja menciptakan manusia- manusia intelektual baru. Di setiap PT dan sejenisnya tentu tidak pernah mengajarkan yang namanya korupsi, mereka menguntaikan ilmu- ilmu yang seharusnya diajarkan. Seperti ilmu kedokteran,s ocial,ilmu budaya dan lain sebagainya. Justru dalam lingkungan kerjalah biasanya tumbuh bibit korupsi, karena banyak sekali pengaruh dan penyebab pekerjaan haram tersebut dilakukan seperti masalah ekonomi, iming- iming dari bos besar dan kebutuhan hidup mewah.

Senin, 24 Juni 2013

Takhrijul Hadist



TAKHRIJUL HADITS
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Naqd al-Hadits
Dosen Pengampu: prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, M. Ag.

Di susun oleh:
M. Azhar Farih                                 (103111062)
Ikfina Kamalia R                              (103111117)
Latifatus Syifa                                   (103111121)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013



TAKHRIJUL HADITS
I.       PENDAHULUAN
Seringkali kita jumpai istilah”kembali kepada Al- qur’an” dari kalangan ulama, para Da’i, lembaga fatwa keagamaan dan umumnya umat Islam sehingga banhyak ungkapan mereka baik secara lisan maupun tertulis dalam karya-karyanya yang dianggap ”kurang” bila tanpa mencantumkan ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi SAW.
Tak jarang mereka mengungkapkan Nash al-qur’an atau hadits tersebut tanpa dibubuhi keterangan surat dan ayat, namun untuk kasus ini, mudah diatasi, terlebih Al-Quran hanya satu versi dan penomoran suratnya telah baku dengan lafal yang sama persis. Lain halnya dengan pencantuman hadits Nabi yang tidak disertai sanad, demikian pula kualitasnya bahkan tak jarang dipenuhi juga statement yang disandarkan kepada Nabi SAW. Begitu saja tanpa diketahui apakah itu hadits atau bukan.
Berdasarkan hal inilah sangat urgen melakukan penelusuran sebuah statement yang diatasnamakan hadits Nabi SAW, kepada sumber- sumber rujukan(kitab himpunan hadits Nabi SAW) dan selanjutnya untuk diketahui kualitasnya. Proses inilah yang kemudian dikenal dengan Takhrij al- Hadits.[1]
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Takhrijul Hadits?
B.     Apa Sajakah Macam-macam Metode Takhrij?
C.     Bagaimanakah Aplikasi Takhrij dalam Penelitian Hadits Nabi?
III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Takhrijul Hadits
Dr. Mahmud at-Tahnan menjelaskan bahwa kata at-takhrij menurut pengertian asal bahasanya adalah “Berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Jika dilihat dari segi bahasa kata “takhrij al- hadis” terdiri dari dua kata, yakni kata takhrij dan al- hadis.Takhrij adalah merupakan asal dari bahasa arab fi’il madhi “kharaja” yang artinya keluar, dan dari fi’il mudhori’ dari kata “yakhriju”. Takhrij merupakan tashrif ishtilahi dari kata “yakhriju”, yakni “takhriju” yang artinya mengeluarkan. jadi takhrij al- hadis artinya mengeluarkan hadis.
Menurut istilah yang biasa dipakai oleh ulama hadits, kata at-takhrij mempunyai beberapa arti, yakni:
1.      Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2.      Ulama hadits mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.      Menunjukkan asal usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadits yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para peiwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadits yang mereka riwayatkan).
4.      Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadits yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanad-nya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas haditsnya.
5.      Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab yang di dalamnya dikemukakan hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing. Kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.[2]
Sehingga, pengertian takhrij al-Hadits dalam penelitian adalah menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli, yaitu pada berbagai kitab yang disitu dikemukakan hadits dengan sanadnya masing-masing.
Dari definisi tersebut di atas, secara umum takhrij al-hadits bertujuan untuk menunjukkan sumber hadits-hadits sekaligus menerangkan hadits tersebut dari aspek  diterima atau ditolaknya.[3] 
B.     Macam-macam Metode Takhrij
Dalam buku Cara Praktis Mencari Hadits dikemukakan bahwa metode takhrij ada dua macam, yaitu:
                                     1.            Metode Takhrijul-Hadits bil Lafz (Penulusuran hadis melalui lafal)
Adakalanya hadits yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja dari matn-nya. Bila demikian, maka takhrij melalui penelusuran lafal matn lebih mudah dilakuakan.
Untuk kepentingan takhrijul-hadits berdasarkan lafal tersebut, selain diperlukan kitab kamus hadits, juga diperlukan kitab-kitab yang menjadi rujukan dari kitab kamus itu. Kitab kamus hadits yang termasuk agak lengkap untuk kepentingan kegiatan ini adalah kitab susunan Dr. Wensinck dan kawan-kawan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu’ad ‘Abdul-Baqi dengan judul:
المعجم المفهرس لألفاظ الحديث النبوي
Kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan kamus hadits tersebut ada Sembilan buah, yakni Sahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan at-Turmuzi, Sunan an-Nasa’I, Sunan Ibni Majah, Sunan ad-Darimi, Muatta’ Malik, dan Musnad Ahmad bin Hambal. Untuk hadits yang termuat di luar kesembilan kitab tersebut, perlu digunakan kamus lainnya yang merujuk kepada kitab yang bersangkutan.
Setelah kegiatan takhrij dilakukan, mungkin belum semua riwayat telah dicakup. Untuk itu, hadits yang telah di-takhrij tadi, lafalnya yang lain perlu dicoba dipakai untuk men-takhrij lagi, Dengan demikian, akan dapat diketahui semua riwayat berkenaan dengan hadits yang ditelusuru tadi.
Adakalanya, semua lafal dalam matn hadits telah dipakai sebagai acuan untuk melakukan kegiatan takhrij, tetapi hasilnya masih perlu dipakai kitab kamus hadits lainnya yang mungkin dapat melengkapinya.
                                     2.     Metode takhrijul-hadits bil maudu’ (penelusuran hadis melalui topik masalah)
Mungkin saja , hadits yang akan diteliti tidak terikat pada bunyi lafal matn hadis, tapi berdasarkan topik masalah. Misalnya, topik masalah yang akan diteliti adalah tentang kawin kontrak atau nikah mut’ah. Untuk menelusurinya, diperlukan bantuan kitab kamus yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai riwayat hadis tentang topik tersebut.
Sesungguhnya cukup banyak kitab yang menghimpun berbagai hadis berkenaan dengan topik masalah. Hanya saja, pada umumnya kiab-kitab tersebut tidak menyebutkan data kitab sumber pengambilannya secara lengkap. Dengan demikian, bila hadis-hadis yang bersangkutan akan diteliti, masih diperlukan penelusuran tersendiri.
Untuk saat ini kitab kamus yang disusun berdasarkan topik masalah yang relative agak lengkap adalah ktab susunan Dr. A. J. Wensinck dkk, yang berjudul : مفتاح كنوز السنة
Kitab-kitab yang menjadi rujukan kitab kamus tersebut ada 14 macam kitab, yakni kesembilan macam kitab yang menjadi rujukanالمعجم sebagaimana telah dikemukakan diatas ditambah lagi dengan musnad zaid bin ali, musnad abi daud at tayalis., tabahad ibn sa’ad, sirah ibn hisyam, dan magazi al-waqidi.
Data yang dimuat dalam kitab miftah tesebut memang sering tidak lengkap, begitu pula topik yang dikemukakan. Walaupun begitu, kitab kamus tersebut cukup membantu untuk melakukan kegiatan takhrjil hadis berdasarkan masalah.
Untuk melengkapi data yang dikemukakan oleh kitab kamus itu, dapat dipakai sejumlah kitab himpunan hadis yang disusun berdasarkan topik masalah misalnya muntakhab kanzilummal susunan ali bin hisam ad-din al mutqi  yang kitab rujukannnya lebih dari dua puluh macam kitab.[4]

C.    Aplikasi Takhrij dalam Penelitian Hadits Nabi
1.      Cara mencari hadits lewat kamus hadits berdasarkan petunjuk lafal hadits (Takhrijul Hadits bil-Alfaz)
a.    Lewat kamus hadits untuk satu kitab hadits
Contoh penggunaan:
Umpama saja, penggalan matan hadits yang dingat adalah:
اِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ...
Bagaimana bunyi lengkap matan hadits tersebut, Siapa nama sahabat Nabi yang meriwayatkannya, tercantum di bagian mana dari kitab Shahih Bukhari?
Setelah kamus ditelusuri, ternyata penggalan matan hadits tersebut tercantum di juz I, halaman 38. Penelusuran dilakukan pada huruf awal hamzah atau alif. Kutipan kamus dimaksud sebagai berikut:
اِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْامِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِنُ
راوى
كتاب
باب
أَبُوْسَعِيْدِالْخُدْرِيِّ
اَلْأَذَانُ
ماَ يَقُوْلُ اِذَا سَمِعَ أَىْ الْمُنَادِىْ
Dari data itu dapat diperoleh penjelasan tentang lafal lengkap dari matan hadits yang dicari. Matan hadits tersebut termuat dalam hadits Shahih al-Bukhari, kitab:
مَا يَقُوْلُ اِذَا سَمِعَ اَيْ اَلْمُنَادِى :, bab اَلْأَذَانُ  
Sahabat Nabi periwayat hadits dimaksudkan adalah Abu Sa’id al-Khudri.
Apabila letak matan hadits tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut dalam Shahih Bukhari, maka dengan pertolongan data kitab dan bab tersebut akan mudah diketahui letak matan yang bersangkutan, lengkap dengan sanad-nya.  Untuk kitab Shahih Bukhari terbitan Darul Fikr, Beirut, misalnya matan hadits yang dimaksud termuat dalam juz I, halaman 115.
Untuk mempercepat pencarian matan dan sanad hadits dalam Shahih al-Bukhari dengan data kamus di atas, maka dapat dilihat nomor urut kitab Shahih al-Bukhari dalam bab IV, sub-bab B tulisan ini, yakni susunan berdasarkan abjad huruf awal. Dalam sub-bab B itu, mudah diketahui urutan nomor kitabnya (dalam bab ini, kitab terletak pada urutan huruf hamzah dan mempunyai nomor urut kitab:10). Cocokkan nomor urut kitab 10 itu pada susunan kitab Shahih al-Bukhari pada sub-bab A). Sesudah itu, carilah matan dan sanad hadits itu dalam Shahih Bukhari pada kitab nomor urut 10.[5]                
b.   Lewat kamus hadits untuk beberapa kitab hadits    
1.    al-Jami’us Shaghir (untuk lebih dari dua puluh delapan kitab hadits dan bukan kitab hadits).
2.    Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits an-Nabawi (untuk sembilan kitab hadits).
Contoh penggunaan:
Brikut ini adalah salah satu contoh takhrij, yang dalam hal ini adalah takhrij hadits Nabi saw. Tentang keharusan memulai ibadah puasa Ramadhan dan mengakhirinya dengan melihat hilal. Di antara hadits yang menunjukkan adanya ketentuan untuk melihat hilal dalam rangka memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan adalah hadits yang diriayatkan oleh Malik. Secara khusus, contoh berikut ini akan meneliti hadits Mallik tersebut, yang berbunyi:
عَنْ مَا لِكِ عَنْ نَافِعِ وَعَبْدِ اللهِ ابْنِ دِيْنَارِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ: لَاتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَاى الْهِلاَلِ وَلَاتَفْطِرُوْا تَرَوَّهُ, فَإِنَّ عَلَيْكُمْ فَاقَدِّرُوْا قَدَرَلَهُ       
Dari Malik, dari Nafi dan ‘Abdullah ibn Dinar, dari ibn Umar, bahwsanya Rasulullah saw. Bersabda, “Janganlah kamu berpuasa (puasa Ramadhan) sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’idul fitri) sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya (bilangannya).
Hadits di atas, yang membicarakan tentang keharusan melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan diriwayatkan oleh Malik dari dua orang gurunya, yaitu Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Dinar, dari ‘Abdullah ibn Umar. 
Ketika ditelusuri lafal hadits tersebut berdasarkan awal kosa katanya  dengan menggunakan kitab Mu’jam Jami’ al-Ushul fi Ahadits bi’al-lafadz (berdasarkan kata-kata pada matan  hadits), dengan mempergunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, dengan menelusuri kosa kata shawana, ditemukan enam riwayat hadits, yaitu dengan tambahan riwayat Ahmad atas kelima riwayat yang terdapat pada Jami’ al-Ushul. Keenam riwayat tersebut terdapat pada:
a.    Kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik, halaman 177: hadits nomor 633, 634.
b.    Kitab Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 62-63: hadits nomor 16-17.
c.    Kitab Shahih Muslim, juz 3, halaman 133: hadits nomor 3.
d.   Kitab Shahih Muslim, juz 6, halaman 435-436: hadits nomor 2302.
e.    Kitab Sunan al-Nasa’i, juz 6, halaman 108: hadits nomor 2.
f.     Kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal,  juz 2, halaman 337: hadits nomor 5294.[6]           
2.      Cara mencari hadits lewat kamus hadits berdasarkan topik masalah (Takhrijul Hadits bil-Maudu’)
Pencarian matan hadits berdasarkan topik masalah tertentu itu dapat ditempuh dengan cara membaca berbagai kitab himpunan kutipan hadits, namun berbagai kitab itu bisanya tidak menunjukkan teks hadits menurut para periwayatnya masing-masing. Padahal untuk memahami topik tertentu tentang petunjuk hadits, diperlukan pengkajian terhadap teks-teks hadits menurut periwayatnya masing-masing. Dengan bantuan kamus hadits tertentu, pengkajian teks dan konteks hadits menurut riwayat dari berbagai riwayat akan mudah dilakukan. Salah satu kamus hadits itu ialah:
 مِفْتَاحُ كُنُوْزِالسُّنَّةِ         
(Untuk Empatbelas Kitab Hadits dan Kitab Tarikh Nabi)
Kitab tersebut merupakan kamus hadits yang disusun berdasarkan topik masalah. Pengarang asli kamus kitab hadits ini adalah Dr. A. J. Wensinck (w. 1939 M), seorang orientalis yang besar jasanya dalam dunia perkamusan hadits.[7]
Dalam kamus, nama dan beberapa hal yang berhubungan dengan kitab-kitab tersebut dikemukakan dalam bentuk lambang. Berikut ini dikemukakan maksud berbagai lambang yang dipakai dalam kamus hadits Miftah Kunuzis-Sunnah dimaksud menurut urutan abjad.
  أول      = juz pertama
ب         = bab
بخ         = Shahih Bukhari
بد          = Sunan Abi Daud
تر         = Sunan at-Turmudzi
ثالث       = juz ketiga
ثان        = juz kedua
ج          = juz
ح          = hadits
حم         = Musnad Ahmad
خامس    = juz kelima
رابع       = juz keempat
ز          = Musnad Zaid bin ‘Ali
سادس    = juz keenam
ص        = halaman (Safhah)
ط          = Musnad Abi Daud at-Tayalisi
عد         = Tabaqat Ibni Sa’ad
ق          = bagian kitab (qismul-kitab)
قا          = konfirmasikan data yang sebelumnya dengan data yang sesudahnya
قد          = Magazi al-Waqidi
ك          = kitab (dalam arti bagian)
ما          = Muatta’ Malik
مج         = Sunan Ibni Majah
مس       = Shahih Muslim
م م م      = hadits terulang beberapa kali
مي        = Sunan ad-Darimi
نس        = Sunan an-Nasa’i
هش       = Sirah Ibni Hisyam
Angka kecil yang berada di sebelah kiri bagian atas dari angka yang umum= hadits yang bersangkutan termuat sebanyak angka kecil itu pada halaman atau bab yang angkanya ddiserttai dengan angka kecil tersebut.
Setiap halaman kamus terbagi ke dalam tiga kolom. Setiap kolom memuat topik, setiap topik biasanya mengandung beberapa subtopik, dan pada setiap subtopik dikemukakan data kitab yang memuat hdits yang bersangkutan.      
Contoh penggunaan:
Umpamanya, berbagai hadits yang dicari adalah yang memberi petunjuk tentang pemenuhan nazar. Dengan demikian, topik yang dicari dalam kamus adalah topik tentang nazar.
Dalam kamus (Miftah Kanuzis-Sunnah) terbitan Lohor (Pakistan), topik nazar termuat di halaman 497, kolom ketiga. Topik tersebut mengandung empat belas sub-topik. Sub-topik yang dicari berada pada urutan keduabelas, di halaman 498, kolom ketiga. Data yang tercantum dalam sub-topik tersebut adalah sebagai berikut:
اَلْأَمْرُ بِالْوَفَاءِ بِالنَّذْ رِ :
بد = ك    ٢١     ب       ٢٢
مج = ك    ١١     ب       ١٨
مي = ك    ١٤     ب       ١
ما  = ك    ٢٢     ح       ٣
حم          = ثان ص ١٥٩, ثالث ص  ٤١٩, سادس ٢٦٦
            Untuk memahami maksud lambang-lambang di atas, maka dapat diketahui bahwa maksud data di atas adalah:
1.   Sunan Abu Daud, nomor urut kitab (dalam arti bagian): 21: nomor urut bab: 22
2.   Sunan Ibni Majah, nomor urut kitab (dalam arti bagian): 11: nomor urut bab: 18
3.   Sunan ad-Darini, nomor urut kitab (dalam arti bagian): 14: nomor urut bab: 1
4.   Muatta’ Malik, nomor urut kitab (dalam arti bagian): 22 nomor urut hadits: 3
5.   Musnad Ahmad, juz II, halaman 159, juz III, halaman 419, dan juz VI, halaman 266 (dalam halaman itu , hadits dimaksud dimuat dua kali).
Setelah data diperoleh, maka hadits yang dicari, yakni dalam hal ini hadits yang membahas pemenuhan nazar, diperiksa pada kelima kitab hadits di atas. Judul-judul kitab yang ditunjuk dalam data hadits dapat diperiksa pada daftar nama kitab (dalam arti bagian) yang termuat pada Bab IV tulisan ini untuk masing-masing kitab hadits yang bersangkutan. [8]  
 
IV. KESIMPULAN
At-takhrij adalah menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab yang di dalamnya dikemukakan hadits itu secara lengkapdengan sanadnya masing-masing. Kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.
secara umum takhrij al-hadits bertujuan untuk menunjukkan sumber hadits-hadits sekaligus menerangkan hadits tersebut dari aspek  diterima atau ditolaknya.
Adapun metode dalam melakukan takhrij ada dua macam, yakni Metode Takhrijul-Hadits bil Lafz (Penulusuran hadts melalui lafal) dan Metode takhrijul-hadis bil maudu’ (penelusuran hadis melalui topik masalah). Untuk metode Takhrijul-Hadits bil Lafz menggunakan kitab al-Jami’us Shaghir  dan Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits an-Nabawi. Sedangkan untuk metode takhrijul-hadis bil maudu’ menggunakan kitab Miftahu Kunuzis Sunnah.
 



DAFTAR PUSTAKA

Ulama’i, Ahmad Hasan Asy’ari, Melacak Hadits Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga Digital, (Semarang: Rasail, 2006).
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992).
Ismail, M. Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadits, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991).
Sahrani, Sohari Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).


[1] Ahmad Hasan Asy’ari Ulama’i, Melacak Hadits Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga Digital, (Semarang: Rasail, 2006), hlm. 3
[2] Dr. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), hlm. 41-42
[3] Ahmad Hasan Asy’ari Ulama’i, Melacak Hadits Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga Digital,  hlm. 4  
[4] Dr. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 45
[5] Dr. M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadits, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), hlm. 21-23
[6] Drs. Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 203-204
[7] Dr. M. Syuhudi Ismai, Cara Praktis Mencari Hadits, hlm. 62-63
[8] Dr. M. Syuhudi Ismai, Cara Praktis Mencari Hadits, hlm. 66-67