IBNU
MASKAWAIH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : H. Darmu’in,
M.Ag
Di
Susun oleh:
Latifatus
Sifa (103111121)
Mahfud
Sazali (103111122)
Maria Ulfa (103111123)
Maulida
Khoirun N (103111124)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2012
IBNU MASKAWAIH
I.
PENDAHULUAN
Pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan
akhlak dan manusia. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Maskawaih
adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan perbuatan yang bernilai baik. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai
Ibnu Maskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia
dalam arti yang seluas-luasnya.
Maka dalam makalah ini akan dijelaskan lebih rinci
lagi apa dan bagaimana perkembangan pemikiran Ibnu Maskawaih beserta karya-
karya fenomenal beliau.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana biografi Ibnu Maskawaih
B.
Apa saja karya Ibnu Maskawaih
C.
Bagaimana pemikiran Filsafat Ibnu
Maskawaih
III.
PEMBAHASAN
A. Biografi
Ibnu Maskawaih
Tidak banyak diketahui orang tentang
sejarah hidup ibn Maskawaih karena kelangkaan berita dan riwayat yang disebut
oleh para penulis sejarahnya dalam kitab- kitab rujukan. Nama lengkapnya adalah
Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’kub ibn Maskawaih. Dilahirkan di kota Reyy
pada tahun 330 H. dan meninggal di Ashfahan pada tahun 421 H /1030 M.
Sebelum menganut islam, Ibn
Maskawaih menganut agama majusi dan setelah menjadi orang islam, ia merupakan
sarjana yang taat dan mendalam pengetahuan keislamannya. Diduga ia seorang
penganut Syi’ah karena sebagian besar umurnya dihabiskan dalam mengabdi para
menteri Syi’ah dalam zaman pemerintahan Bani Buwaih yang dimulai pada tahun 320
H. sampai dengan tahun 448H.
Pada zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu
Maskawaih mendapat kepercayaan besar dari raja karena diangkat sebagai penjaga
(khazin ) perpustakaannya yang besar, disamping sebagai penyimpan rahasianya
dan utusannya ke pihak- pihak yang diperlukan.[1]
Namun demikian, ada beberapa hal juga yang perlu dijelaskan dari Ibnu Maskawaih yang belajar sejarah
terutama Tarikh al- Thabari
kepada Abu Bakar ibnu Kamil Al- Qadhi dan belajar filsafat pada IBnu Al;
Khummar, mufassir kenamaan karya- karya Aristoteles.
Maskawaih
pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralitas. Ia juga seorang penyair,
tauhidi mencela maskawaih karena kekikiran dan kemunafikannya. Ia tertarik
kepada alkimia bukan demi ilmu, tetapi demi emas dan harta, dan ia sangat
mengabdi kepada guru – gurunya. Tetapi, Yaqut menyebutkan bahwa pada tahun-
tahun kemudian dia berupaya mengikuti lima belas pokok petunjuk moral.
Keserdehanaanya dalam melayani
nafsu, ketegaran dalam menundukkan didi yang serakah dan kebijakan dalam
mengatur dorongan- dorongan yang tak rasional merupakan pokok- pokok petunjuk
ini. Dia sendiri berbicara tentang perubahan moral dalam bukunya Tahzib al-
Akhlak, yang menunjukkan bahwa ia melaksanakan dengan baik apa yang
dituliskannya tentang etika.[2]
Disiplin ilmunya meliputi
kedokteran, sejarah, bahasa, dan filsafat. Akan tetapi, ia lebih populer
sebagai seorang filosof akhlak (al- falsafat al-‘amaliyat) ketimbang
filosof Ketuhanan (al- falsafat al- nazhariyyat al- illahiyat). Agaknya
ini dimotivasi oleh situasi masyarakat yang sangat kacau dimasanya, seperti
minuman keras, perzinaan dan lain- lain.
B. Hasil
karya Ibnu Maskawaih
Ibnu Maskawaih tidak hanya dikenal
sebagai seorang pemikir (filosof), tetapi ia juga seorang penulis yang
produktif. Dalam buku The History of
The Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisanya, yaitu :
a.
Al- Fauz al- Akbar
b.
Al- Fauz al- Asghar
c.
Tajarib al- Umam
(Sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/ 979 M)
d.
Uns al-Farid
(koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah)
e.
Tartib al- Sa’adat
( isinya akhlak dan politik)
f.
Al- Mustaufa
( isinya syair- syair pilihan)
g.
Jawiddan Khirad
( koleksi ungkapan bijak)
h.
Al- Jami’
i.
Al- Siyab
j.
On The Simple Drugs (
tentang kedokteran)
k.
On The Compisition of the Bajats
( seni memasak)
l.
Kitab al- Ashribah tentang (tentang minuman)
m.
Tahzib al – Akhlak
(tentang akhlak)
n.
Risalah fi- al- Lazzat wa al- Alam fi Jauhar Al- nafs
o.
Ajwibat wa As’ ilat fi al- Nafs wa
al-‘ Aql
p.
Risalat fi jawab fi Su’al Ali
Muhammad Abu Hayyan al- Shufi fi Haqiqat al-‘ Aql
q.
Al- jawab fi al- Masa’il al- Salas
r.
Thaharat al- Nafs[3]
C. Pemikiran filsafat Ibnu Maskawaih
1. Ketuhanan
Tuhan menurut Ibnu Maskawaih adalah zat yang tidak
berjisim, Azali, dan Pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-
bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan- Nya.
Ia ada tanpa diadakan dan ada- Nya tidak beruntung kepada yang lain. Sementara
yang lain membutuhkan- Nya. Tampaknya pemikiran Ibnu Maskawaih ini sama denagn
pemikiran Al- Farabi dan Al- Kindi
Menurut De Boer, Ibnu Maskawaih menyatakan,
Tuhan adalah Zat yang jelas dan zat yang tidak jelas. Dikatakan Zat yang jelas
bahwa Ia adalah Yang Hak ( benar). Yang Benar adalah Terang. Dikatakan tidak
jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkap- Nya, disebabkan
banyak dinding- dinding atau kendala kebendaan yang menutupi- Nya. Pendapat ini
bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan.
Tuhan dapat dikenal dengan
propogasi negative dan tidak dapat dikenal dengan sebaliknya, propogasi positif
(yu’raf bi al- salb dun al- Ijab). Alasanya propogasi positif akan
menyamakan Tuhan dengan alam
Segala sesuatu di alam ini
ada gerakan. Gerakan tersebut merupakan sifat (natur) bagi alam yang
menimbulkan perubahan pada sesuatu dari bentuknya semula. Ini sebagai bukti
tentang adanya Pencipta alam. Pendapatnya ini didasarkan pada pemikiran
Aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang mengubahnya dari
bentuk semula.
Sebagai filosof yang
religious sejati, ibnu Maskawaih menyatakan, alam semesta ini diciptakan Allah
dari tiada menjadi ada karena penciptaan dari bahan yang sudah ada tidak ada
artinya. Di sinilah letak persamaan pemikirannya dengan Al- Kindi dan berbeda
dari Al- Farabi (Allah menciptakan alam dari materi yang sudah ada)[4]
Meskipun begitu, Ibnu
Maskawaih tidak banyak member perhatiannya dalam masalah ketuhanan dan
metafisika jika dibandingkan filosof islam sebelumnya karena masalah ini tidak
diperdebatkan lagi dizamannya.
2.
Emanasi
Sebagaimana Al- Farabi, Ibnu Maskawaih
juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran.
Namun, emanasinya berbeda (bertentangan) dengan emanasi Al- Farabi. Menurutnya
entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘Aql Fa’al ( Akal Aktif) akal aktif ini tanpa perantara
sesuatu pun. Ia Kadim, Sempurna, dan tak ubah. Dari Akal Aktif ini timbullah
jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al- falak).
Pelimpahan atau pancaran yang terus- menerus dari Allah dapat memelihara
tatanan di dalam ala mini. Andaikan Allah menahan pancaran- Nya, maka akan
terhenti kemujudan dalam ala mini.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan
perbedaan Emanasi antara Ibnu Maskawaih dengan Al- Farabi sebagai berikut:
a. Bagi
Ibnu Maskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi (pancaran) dari tiada
menjadi ada. Sementara itu, menurut Al- Farabi alam dijadikan Tuhan secara
pancaran dari sesuatu atau bahanyang sudah ada menjadi ada.
b. Bagi
Ibnu Maskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara itu, bagi
Al- Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Pertama dan Akal Aktif adalah
Akal yang Kesepuluh.
3.
Kenabian
Teori
kenabian Ibn Maskawaih tidak jauh beda dari teori kenabian al- Farabi. Nabi
menurut ibn Maskawaih adalah orang yang bekat pengarul akal aktif (akal fa’al )
terhadap daya indrawi dan khayalnya telah memperoleh hakekat- hakekat yang juga
telah diperoleh oleh para filosof. Perbedaanya terleta cara menerimanya
hakekat- hakekat tersebut. Bagi para filosof hakekat itu diterima dari bawah ke
atas dari daya inderawi ke daya khayal lalu ke daya pikir yang dapat
berhubungan dengan akal aktif sebagai sumber segala hakekat, sedangkan Nabi
cara penerimaanya dimulai dari akal aktif turun langsung kepadanya.
Jadi,
sumber penerimaaanya bagi keduanya Adalah satu yaitu akal aktif (akal fa’al). Oleh
karena hakekat kebenaran itu satu, baik
yang diperoleh Nabi maupun filsof, maka yang paling dapat menerima dan mengakui
apa yang dibawa nabi adalah filsof. Hal ini karena Nabi membawa ajaran yang
tidak bertentangan dengan akalnya. Manusia perlu kepada Nabi untuk mengetahui
hal- hal yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan hidupnya.
Akan tetapi, hanya para filosoflah yang dapat mengetahui dengan penalaran
akuratnya, kebenaran yang dibawa Nabi.[5]
4.
Jiwa
Jiwa, menurut Ibnu Maskawaih, adalah
jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan
yang tidak terbagi- bagi. Ia akan hidup selalu. Ia tidak dapat diraba dengan
panca indra karena ia bukan jisim dan bukan bagian dari jisim. Iiwa dapat
menangkap keberadaan zatnya dan ia mengetahui ketahuan dan keaktivitasnya.
Argument yang dimajukannya ialah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang
berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan
badan tidak seperti itu.[6]
Jiwa dapat pula menerima gambaran
tentang segala hal, yang inderawi maupun yang spiritual, karena jiwa memiliki
daya mengetahui dan kemampuan yang lebih luas jangkauannya katimbang daya yang dimiliki
materi, bahkan materi tidak akan mampu member kepuasan terhadap jiwa yang
immateri, yang oleh karenanya jiwa senantiasa merindukan hal- hal yang bersifat
spiritual. Dan amkin menguatkan bukti bahwa jiwa adalah substasi yang bukan
materi.
Secara garis besar, ketika jiwa
mengetahui bahwa indera benar atau salah, maka pengetahuannya ini bukan dari
indera. Kemudian, jika mengetahui bahwa diirinya memahami ma’qulat –
Nya sendiri, ia mengetahuinya bukan dari sumber lain lagi, dan seterusnya tanpa
henti. Dengan begitu jiwa itu tahu, karena ia memang mengetahuinya dari esensi
dan substansinya sendiri, yaitu akal. Dan itu berarti, bahwa ia tidak pernah
membutuhkan sesuatu yang lain untuk mengetahui sesuatu, kecuali dirinya
sendiri. Untuk itu, bisa disimpulkan bahwa akal, yang berpikir (ma’kul)
itu sekali tiga uang, dan tiada sesuatu yang lain di dalamnya.[7]
Di sisi lain, hal yang ingin
ditegaskan oleh maskawaih adalah bahwa substansi jiwa manusia, yang
dipandangnya sebagai esesnsi yang lebih mulia dari keseluruhan benda di alam
ini. Dengan kata lain, ibn Maskawaih hendak mengatakan bahwa substansi jiwa
manusia lebih tinggi dan lebih mulia ketimbang benda- benda materi, karena
kemampuanya mengetahui hal- hal yang abstrak sekalipun, bahkan sumber
pertimbangan tingkah laku, yang sealalu mengarah kepada kebaikan.
Lebih
jauh lagi, Maskawaih menjelaskan bahwa jiwa manusia mempunyai tiga fakultas:
yang pertama, fakultas yang berkaitan dengan proses berpikir (al fikr),
melakukan observasi (al nazhar), dan memberikan pertimbangan (al
tamyiz) atas segala realitas. Kedua, fakultas yang terepresentasikan dalam
amarah (al ghadab) dan keberanian (al iqdam) dalam menghadapi
ancaman atau bahaya, atau dalam hasrat untuk menjadi berkuasa, mengunggulakan
diri, atau mencapai penghargaan lainya. Dan ketiga, fakultas yang menjadikan
seesorang memiliki dorongan keinginan, hawa nafsu (al syahwat) terhadap
makanan, minuman, senggama serta kenikmatan indrawi lainnya.[8]
5.
Akhlak
Ibn Maskawaih dalam kontruksi
pemikiran filsafat etikanya sangat khas, yang melandasi konsepnya tentang
bagaimana mendidik manusia. bertolak dari
pandangannya, bahwa watak dan karakter manusia dapat berubah karena pengaruh-
pengaruh dan factor- factor eksternal, misalnya lingkungan yang mengitarinya
atau pola- pola pendidikan yang diperolehnya.
Pemikiran Ibnu maskawaih tentang
akhlak terdapat seluruhnnya dalam kitab Tahdzibu’l Akhlaq. Dalam masalah
ini, ia termasuk seorang pemikir islam yang terkenal. Dalam setiap pembahasan
akhlaq dalam islam, pemikirannya selalu diperhatikan orang. Hal ini karena
pengalaman hidupnya sendiri, yang pada waktu usia muda sering dihabiskan pada
perbuatan yang sia- sia, telah menjadi dorongan kuat baginya untuk menulis
kitab tentang akhlaq sebagai tuntunan bagi generasi sesudahnya. Kitab tersebut
uraian suatu mazhab dalam akhlaq yang bahan- bahanya ada yang berasal dari
konsep- konsep akhlaq dari plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum
islam serata diperkaya dengan pengalamn hidup pribadinya dan situasi zamanya
Dalam konsepsi Ibnu maskawaih
akhlaq adalah “suatu sikap mental (Halun li’n-Nafs) yang mendorongnya
untuk berbuat, tanpa pikir dan pertimbangan”. Keadaan atau sikap jiwa ini
terbagi menjadi dua : ada yang berasal dari watak (temperamen) dan ada yang
berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan kata lain, tingkah laku manusia
mengandung dua unsur : unsur watak naluri dan unsur usaha lewat kebiasaan dan
latihan. Ibnu maskawaih menolak pendapat sebagian pemikir yunani yang
mengatakan bahwa akhlaq itu tidak dapat berubah karena ia berasal dari watak
atau pembawaan. Baginya akhlaq itu dapat selalu berubah dengan kebiasaan dan
latihan serta pelajaran yang baik, karena kebayakan anak yang hidup dan dididik
dengan cara tertentu dalam masyarakat ternyata itu berbeda secara menyolok
dalam menerima nilai- nilai akhlaq yang luhur.
Jika di titik sudut dari sudut
akhlaq mulia manusia sangat berbeda; ada yang lebih dekat kepada hewan dan
adapula yang lebih dekat kepada malaikat. Diantara dua tingkat yang bertolak
belakang ini terdapat sejumlah besar tingkat lain dimana semua orang dapat
dikelompokkan. Jadi, manusia dapat diperbaiki akhlaqnya dengan menghilangkan
darinya sifat- sifat tercela.[9]
Bagi Ibnu Maskawaih akhlaq yang tercela bisa berubah menjadi akhlaq yang
terpuji dengan jalan pendidika (Tarbiyah al- Akhlaq) dan latihan-
latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan denagn ajaran islam karena
kandungan ajaran islam secara eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini dan
pada hakekatnya syari’at agama bertujuan untuk mengokohkan untuk mengokohkan
dan memperbaiki akhlaq manusia.[10]
Dalam buku Tahzib Al- akhlaq Ibnu
Maskawaih juga memaparkan kebahagiaan. Menurutnya, kebahgiaan meliputi jasmani
dan rohani. Pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat Plato dan
Aristoteles. Menurut Plato kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan
rohani. Hal ini baru bisa diperoleh manusia apabila rohaninya telah berpisah
dari jasadnya. Dengan redaksi lain, selama rohaninya masih terikat kepada
jasadnya, yang selalu menghalanginya mencari hikmah, kebahagiaan dimaksud tidak
akan dicapai. Sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan dapat
dicapai dalam kehidupan di dunia ini, namun kebahagiaan tersebut berbeda
diantara manusia, seperti orang miskin kebahagiaannya dalah kekayaan, orang
sakit pada kesehatan, dan lainnya.
6.
Teori Evolusi
Jauh sebelum C. Darwin
mengemukakan teori evolusi, Ibnu Maskawaih telah berpendapat Bahwa segala
sesuatu yang wujud
ini tumbuh dan berkembang melalui beberapa phase yang keseluruhannya merupakan
mata rantai kehidupan. Bahwa segala pada phase pertama merupakan suatu yang sederhana,
kemudian senantiasa ber-evolusi dan berkembang sehingga mencapai derajat yang
lebih tinggi. Tumbuh- tumbuhan pada mulanya, dalam tingkatan vegetative (nabat)
kemudian ber-evolusi dan berkembang meningkat sehingga mendekati derajat
manusia. Manusia terus berkenbang meningkat bukan saja dari segi physic, tetapi
berkembang pula kecerdasannya, cara berpikirnya bertambah maju sehingga menjadi
bijaksana bahkan mendekati derajat malaikat/ para Nabi.
Dengan ini Ibnu Maskawaih
menetapkan prinsip adanya kebenaran Nubuat (kenabian) dan adanya kebenaran
turunya wahyu Allah hanya saja untuk mencapai tingkatan ini ada dua jalan :
1)
Perenungan tentang hakekat segala
sesuatu yang wujud sehingga mempertajam pandangan, sehingga akhirnya dapat
mengena soal- soal ketuhanan. Tingkatan ini dapat dicapai oleh para filosof.
2) Manusia
mungkin sekali tanpa perenungan akal pikiran, tetapi mendapatkan karunia
limpahan langsung dari tuhan berupa kebenaran (wahyu) tanpa melalui latihan
akal pikiran. Tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang- orang terpilih
yaitu para Nabi.
Teori evolusi rohani ini berpijak
dari dasar filsafatnya bahwa manusia menurut fitranya mempunyai kemampuan dan
kemauan untuk mencapai kesempurnaan.[11]
IV.
KESIMPULAN
Ibnu Maskawaih adalah seorang filosof Islam yang
dilahirkan di kota Reyy pada tahun 330 H. dan meninggal di Ashfahan pada tahun
421 H /1030 M. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’kub ibn
Maskawaih.salah satu hasil karya besar beliau adalah kitab Tahzib Al- Akhlaq
yang berisi tentang akhlaq, maka dari itu Ibnu Maskawaih lebih popular
sebagai seorang filosof akhlak ketimbang filosof ketuhanan.
Pemikiran filsafatnya meliputi tentang ketuhanan
dengan pemikiran terbatasnya, karena pendapat beliau cenderung sama dengan
Al-Kindi dan Al- farabi. Juga ada tentang emanasi, kenabian ,jiwa, akhlaq
(etika) dan teori tentang evolusi.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun, semoga dapat
memberikan manfaat untuk pembaca dan pemakalah khususnya. Kmi menyadari
pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penyusunanya. Sehingga kami mohon kritik dan saran pembaca yang dapat
memberikan pelajaran yang berharga bagi pemakalah.
[1] Ahmad Daudy,Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), hlm. 56
[2] M.M. Syarif, Para Filosof Islam, terj.History
of Muslim Philosophy, (Bandung: Mizan,1996), cet.VIII,hlm.85
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan
Filsafatnya, ( Jakarta: PT. Raja Grofindo Persada, 2004), hlm.128-129
[5] Yusuf Suyono, Bersama Ibn Rusyd menengahi
Filsafat dan Ortodoks,(Semarang: Walisongo Press,2008),hlm.51
[6] Sirajuddin Zar, Opcit, hlm. 133
[7] Helmi Hidayat, Menuju kesempurnaan Akhlak,
terj. Tahzib Al Akhlaq,(Bandung: Mizan,1994),hlm.39
[8] Zainuddin,dkk, Pendidikan Islam,(Malang : UIN
Malang Press, 2009),hlm. 147-148
[9] Ahmad Daudy,Opcit, hlm.60-61
[10] Sirajjudin Zar,Opcit,hlm. 135
[11] Muslih ishak, Tokoh- tokoh
Filsafat Islam dari barat (Spanyol),(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980)hlm.
23-24
sangat bagus terima kasih ya, bisa berbagi ilmu
BalasHapusTerimakasih gan, artikelnya sangat membantu
BalasHapusLuar biasa
BalasHapus