PENDIDIKAN EMOSI PERSPEKTIF AL-QUR’AN
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir Tarbawy II
Dosen Pengampu: Dr.Musthofa M.Ag
Di susun oleh:
Lailatul Hidayah 103111120
Lathifatus Syifa 103111121
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
LI’AN, ILA’, ZHIHAR, TALAK dan Solusi Problematika Keluarga
I.
PENDAHULUAN
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apakah
pengertian dan Dasar Hukum Li’an, Ila’,
Zhihar dan Talak?
B.
Bagaimanakah
solusi problematika yang terjadi dalam keluarga?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Dasar Hukum Li’an, Ila’, Zhihar dan Talak
1.
Li’an
Li’an adalah
mashdar dari kata kerja la’ana, yulaa’inu, li’aanan terambil dari kata alla’nu
yang berarti kutukan, jauh atau laknat. Suami istri yang saling berli’an akan
berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami
istri untuk selama-lamanya. Li’an mengakibatkan perceraian antara suami istri
selama-lamanya. Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau
mengingkari anak dalam kandungan istrinya sebagai anaknya, sedangkan istrinya
menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut.
Tata cara
li’an adalah sebagai berikut:
1) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan
atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata laknat
Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta.
2) Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
dengan sumpah empat kali dengan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
tidak benar, diikuti dengan sumpah yang kelima dengan kata-kata murka Allah
atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar.
Sumpahnya
adalah : “Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa tuduhanku terhadap istriku bahwa
dia berzina adalah benar dan sesungguhnya anak ini yang dikandungnya adalah
hasil perzinaan, bukan dari saya.”
Sumpah ini
dilakukan empat kali dan sesudah itu hakim memberi nasehat kepadanya, kalau
sekiranya sumpah yang telah diucapkannya itu dusta hendaklah dicabut kembali.
Apabila dia tidak mencabut sumpahnya maka sumpah yang kelima adalah:
“..............dan saya bersedia menerima laknat Allah apabila aku berbohong
dalam sumpahku.”[1]
Dasar hukum
li’an
Dasar hukum pengaturan
li’an bagi suami yang menuduh istrinya yang berbuat zina adalah firman Allah
surat An-Nur : 6 sebagai berikut
والذين يرمون ازواجهم ولم يكن لهم شهداءالاانفسهم فشهادة احدهم اربع شهدت
باالله انه لمن الصدقين.
Artinya : “Dan orang-orang
yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak ada mempunyai saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang
yang benar”.
Allah telah mensyariatkan
had (hukuman yang telah ditentukan) bagi orang yang menuduh perempuan
yang muhshanah (beristri) berzina, tetapi orang tersebut tidak dapat
memperkuat tuduhannya itu dengan empat saksi. Had tersebut dimaksudkan untuk
menghukumnya, akibat perbuatannya yang telah mencoreng kehormatan para
perempuan yang suci. Oleh Karen itu, orang-orang yang menuduh berzina itu harus
didera dengan delapan puluh kali deraan. Sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “Dan orang-orang yang menuduh
perempuan-perempuan yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah
orang-orang yang fasik.”(An-Nur : 4).[2]
Dampak-dampak
yang ditimbulkan oleh li’an diantaranya :
1. Hukuman jatuh pada
keduanya (suami dan istri).
2. Masing-masing suami dan istri haram untuk
bersenang-senang dengan pasangannya disebabkan karena li’an, bahkan sebelum
adanya tafriq (pemisahan) qadi terhadap keduanya.
3. Terjadi firqah (perceraian) antara keduanya sesuai dengan
kesepakatan fuqaha.
4. Apabila li’an dikibatkan karen atidak mengakui status
anak maka garis keturunan sang anak tidak dapat dihubungkan dengan sang suami,
tapi dihubungkan dengan ibunya.[3]
2.
Ila’
Menurut bahasa, Ila’
adalah sumpah semata-mata (mutlak). Dikatakan, ala-yuli-ila’ ketika
seseorang bersumpah, baik bersumpah untuk tidak mendekati istrinya ataupun yang
lain. Sedangkan menurut istilah syariat, ila’ adalah sumpah suami untuk
tidak mendekati istrinya selama empat bulan, baik berupa sumpah kepada Allah
ataupun mengantungkan adanya tindakan mendekati si istri pada perbuatan yang
sulit dilaksanakan oleh jiwa manusia.
Artinya ; “Kepada orang-orang yang mengila’
istrinya diberi tangguh bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jikalau mereka berazam (bertetap hati untuk)
talak, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Tahu.”[4]
Apabila batas
waktu 4 bulan telah berlaku dan suami tidak kembali kepada istrinya maka
terjadilah perceraian antara suami istri tersebut. Proses perceraian tersebut
dapat melalui talak atau istrinya mengadukan permasalahannya kepada hakim di
pengadilan dan hakim menetapkan perceraian itu.[5]
Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa rukun ila’ ada
6, yaitu:
1.
Mafluh bihi, yaitu bersumpah dengan Allah.
2.
Mafluh
alaih, yaitu bersumpah tidak akan
menyentuh istri.
3.
Sighat, yaitu seseorang yang bersumpah dengan sighat
(ucapan). Umpamanya :
وَالله ِلَااَطِءُزَوْجَتِيْ
Artinya
: “Demi Allah saya tidak akan mengumpuli istri saya.”
Ucapan ila’ itu
terbagi menjadi dua macam : sharih (tegas) dan kinayah
(metonimia). Ucapan yang sharih adalah ucapan yang menunjukkan kepada tujuan
tanpa ada kemungkinan kepada sesuatu yang lain. Contohnya: “Demi Allah, aku
tidak akan berhubungan badan denganmu”. Ucapan kinayah adalah ucapan yang mengandung
makna lain. Seperti : “Aku tidak akan menyelimutimu”, “Aku tidak akan masuk kepadamu”, dan
“Aku tidak akan menyatukan kepalamu dengan kepalaku”. Contoh-contoh ucapan
seperti ini tidak dapat menjadi ila’, kecuali dengan adanya niat. Seandainya
suami mengaku, bahwa dirinya menghendaki makna selain bersetubuh maka ucapannya
itu dibenarkan dalam pengadilan.[6]
4.
Muddah (masa), yaitu masa ila’ adalah 4 bulan atau lebih.
5.
Suami.
6.
Istri.
3.
Zhihar
Zhihar dalam bahasa arab adalah mashdar dari kata zhahara
yang berasal dari akar kata azh-zhahr, yaitu ucapan suami kepada
istrinya,“kamu bagiku seperti punggung ibuku.” Sementara dalam terminologi
fuqaha, zhihar adalah perilaku suami yang menyerupakan istrinya dengan
perempuan yang diharamkan baginya secara permanen (selamanya), atau dengan
salah satu anggota tubuh perempuan itu, yang tidak boleh diperlihatkan olehnya,
seperti punggung, perut dan paha. Contohnya : ucapan suami kepada istrinya :
”Kamu bagiku seperti punggung ibuku.”atau “Seperti perut saudaraku, bibi dari
pihak ibuku, atau bibi dari pihak ayahku.”
Dasar hukum
zhihar
Para ulama’
sepakat mengatakan bahwa zhihar itu hukumnya haram. Oleh karena itu orang yang
melakukan zhihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Seseorang
yangmenzhihar istrinya akan berakibat :
1)
Haram
menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zhihar.
2)
Penzhihar wajib
membayar kafarat zhihar.[7]
Adapun
untuk menghapus kemungkaran ini dengan kafarat (penebus) berikut ini secara
berurutan : Memerdekakan budak perempuan, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan
60 orang miskin. Keduanya haram
untuk bersentuhan sebelum mengeluarkan kafarat tersebut.[8]
4. Talak
Talak terambil dari kata Ithlaq
yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilah
syara’ :
حَلٌ
رَبِطَةِ الزَّوَاجِ وَاِنْهَاءُ الْعَلاَقَةِ اَلزَّوْجِيَّةِ yaitu
melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Menurut Al-Jaziry
talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga
setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya,
dan ini terjadi dalam hal talak ba’in.
Macam-macam Talak
1.
Ditinjau
dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi 3 macam
yaitu :
a.
Talak
Sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan perintah Allah dan Rasulullah
SAW yaitu talak yang dilakukan ketika istri dalam keadaan suci dan belum
disetubuhi dan kemudian dibiarkan sampai selesai menjalankan iddahnya. Secara
jelas jika suami menceraikan istrinya dalam keadaan suci yang belum dicampuri,
maka dengan demikian ia telah sejalan dengan sunnah karena ia menceraikan
istrinya yang langsung dapat menjalankan ‘iddahnya seperti yang diperintahkan
Allah dalam Q.S.Ath-Thalaq :1 yang artinya ”Hai Nabi, apabila kamu
menceraikan istri-istrimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu”. [9]
b.
Talak
Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntutan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni, yang termasuk talak
Bid’i ialah :
1) Mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga
kali secara terpisah-pisah dalam satu tempat atau satu waktu.
2) Talak yang
dijatuhkan terhadap istri pada waktu
haid, baik di permulaan haid maupun di pertengahannya.
3) Talak
yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi tidak pernah digauli
oleh suaminya.
2.
Ditinjau
dari ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri,
talak dibagi 2 yaitu :
a. Talak Raj’i yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak
untuk merujuk kembali istrinya setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal
tertentu dan istri benar-benar sudah digauli. Suami boleh merujuk istrinya
kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu
masih dalam masa iddah, dalam kondisi ini, suami berhak merujuknya lagi baik
istri setuju atau tidak. Jelasnya talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan
suami kepada istri sebagai talak satu atau talak dua, apabila istri berstatus
iddah talak raj’i, suami boleh rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah yang
baru, tanpa persaksian dan tanpa mahar baru pula. Sesuai
dengan firman Allah dalam Q.S.Al Baqarah : 229 “Talak (yang dapat dirujuki)
dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidaka
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah”. Oleh karena itu
manakala istri telah diceraikan dua kali kemudian dirujuk atau dinikahi kembali
setelah masa iddahnya sebaiknya ia tidak diceraikan lagi.
b. Talak
Ba’in yaitu talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri. Talak ba’in
terbagi menjadi 2 yaitu :
1)
Talak
Ba’in Sughro yaitu talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya
tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada istri bekas suaminya itu. Yang
termasuk talak Bai’in Sughro adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istri
sebelum terjadi dukhul (bersetubuh) dan khulu’.
2) Talak Ba’in Kubro yaitu talak yang mengakibatkan
hilangnya hak rujuk kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri itu ingin
melakukannya baik di waktu iddah atau sesudahnya. Sebagian
ulama berpendapat bahwa yang termasuk talak Ba’in Kubro adalah segala macam
perceraian yang mengandung unsur-unsur sumpah sepertiu ila, dzihar, Li’an.
Dalam Q.S.Al Baqarah : 230 dijelaskan bahwa apabila
seorang suami menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka perempuan itu tidak
boleh di kawini lagi sebelum perempuan itu menikah dengan laki-laki lain. [10]
Dasar Hukum
Talak
Talak
itu perbuatan halal yang dibenci Allah, seperti dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Hakim :
“Perbuatan
halal
yang paling dibenci Allah adalah talak”.
Rasulullah SAW
bersabda : “Wanita yang minta talak
suaminya tanpa ada masalah, maka bau surga diharamkan baginya”.
Hadits
ini menunjukkan bahwa tidak setiap perbuatan halal itu disukai tetapi ada
sesuatu yang disukai dan yang dibenci. Sedangkan islam sangat menginginkan
ketenangan hidup suami istri dan melindungi kerusakan serta meraih cinta dan
pergaulan yang baik. Allah menjadikan talak sebagi obat yang pahit rasanya.
Untuk suami istri yang telah gagal, maka talak adalah obat satu-satunya seperti
pembedahan yang harus dilakukan untuk memelihara keselamatan tubuh.[11]
Ulama
Hanabilah (penganut madzhab Hambali) memperinci hukum talak sebagai berikut :
1. Talak
Wajib, misalnya talak dari hakam perkara syiqaq
yakni perselisihan suami istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi dan
kedua pihak memandang perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan
persengketaan mereka. Yang termasuk talak wajib ialah talak dari orang yang
melakukan ila terhadap istrinya
setelah lewat waktu 4 bulan.
2. Talak
Haram yaitu talak yang tidak diperlukan. Dihukumi haram karena akan merugikan
suami dan istri serta tidak ada manfaatnya.
3. Talak
Mubah terjadi hanya apabila diperlukan misalnya karena istri sangat jelek,
pergaulannya jelek atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari pihak
istri.
4. Talak
mandub atau talak sunnah yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah
keterlaluan dalam melanggar perintah-perintah Allah misalnya meninggalkan
sholat atau kelakuannya tidak dapat diperbaiki lagi.[12]
IV.
ANALISIS
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Muslimah Ibadah-Mua’amalat, Jakarta
: Pustaka Amani, 1994.
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, terj. Nur Khozin Jakarta : Amzah, 2010.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh
Munakahat, Jakarta : Kencana, 2006.
Mathlub,
Abdul Majid Mahmud, Panduan Hukum Keluarga Sakinah,terj. Harits
Khotib, Fadly dan Ahmad, Surakarta : Era Intermedia, 2005.
Nur,
Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang : Dina Utama Semarang, 1993.
Sahrani,
M.A.Tihami dan Sohari, Fikih Munakahah
Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta : Rajawali Press, 2009.
[2] Abdul Majid
Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah,terj. Harits
Fadly dan Ahmad Khotib (Surakarta : Era Intermedia, 2005), hlm. 426-427
[9] Wasman dan Wardah
Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih dan Hukum
Positif, (Yogyakarta : Teras, 2011), hlm. 95-96
[10]
M.A.Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahah Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : Rajawali Press, 2009), hlm. 245.
[11] Ibrahim Muhammad
Al-Jamal, Fiqih Muslimah
Ibadah-Mua’amalat, (Jakarta : Pustaka Amani, 1994), hlm. 279-280.
[12] M.A.Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahah Kajian Fikih
Nikah Lengkap, hlm. 249-250.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar