Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 03 Mei 2013

PENDIDIKAN EMOSI PERSPEKTIF AL-QUR’AN


PENDIDIKAN EMOSI PERSPEKTIF AL-QUR’AN

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir Tarbawy II
Dosen Pengampu: Dr.Musthofa M.Ag






Di susun oleh:
Lailatul Hidayah                               103111120
Lathifatus Syifa                                 103111121

 
 
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012


LI’AN, ILA’, ZHIHAR, TALAK dan Solusi Problematika Keluarga
I.         PENDAHULUAN
II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah pengertian dan Dasar Hukum  Li’an, Ila’, Zhihar dan Talak?
B.     Bagaimanakah solusi problematika yang terjadi dalam keluarga?
III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Dasar Hukum Li’an, Ila’, Zhihar dan Talak
1.      Li’an
Li’an adalah mashdar dari kata kerja la’ana, yulaa’inu, li’aanan terambil dari kata alla’nu yang berarti kutukan, jauh atau laknat. Suami istri yang saling berli’an akan berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya. Li’an mengakibatkan perceraian antara suami istri selama-lamanya. Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan istrinya sebagai anaknya, sedangkan istrinya menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut.
Tata cara li’an adalah sebagai berikut:
1)   Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta.
2)   Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti dengan sumpah yang kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar.
Sumpahnya adalah : “Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa tuduhanku terhadap istriku bahwa dia berzina adalah benar dan sesungguhnya anak ini yang dikandungnya adalah hasil perzinaan, bukan dari saya.”
Sumpah ini dilakukan empat kali dan sesudah itu hakim memberi nasehat kepadanya, kalau sekiranya sumpah yang telah diucapkannya itu dusta hendaklah dicabut kembali. Apabila dia tidak mencabut sumpahnya maka sumpah yang kelima adalah: “..............dan saya bersedia menerima laknat Allah apabila aku berbohong dalam sumpahku.”[1]
Dasar hukum li’an
Dasar hukum pengaturan li’an bagi suami yang menuduh istrinya yang berbuat zina adalah firman Allah surat An-Nur : 6 sebagai berikut
والذين يرمون ازواجهم ولم يكن لهم شهداءالاانفسهم فشهادة احدهم اربع شهدت باالله انه لمن الصدقين.
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak ada mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.
Allah telah mensyariatkan had (hukuman yang telah ditentukan) bagi orang yang menuduh perempuan yang muhshanah (beristri) berzina, tetapi orang tersebut tidak dapat memperkuat tuduhannya itu dengan empat saksi. Had tersebut dimaksudkan untuk menghukumnya, akibat perbuatannya yang telah mencoreng kehormatan para perempuan yang suci. Oleh Karen itu, orang-orang yang menuduh berzina itu harus didera dengan delapan puluh kali deraan. Sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”(An-Nur : 4).[2]
Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh li’an diantaranya :
1.    Hukuman jatuh  pada keduanya (suami dan istri).
2.    Masing-masing suami dan istri haram untuk bersenang-senang dengan pasangannya disebabkan karena li’an, bahkan sebelum adanya tafriq (pemisahan) qadi terhadap keduanya.
3.    Terjadi firqah (perceraian) antara keduanya sesuai dengan kesepakatan fuqaha.
4.    Apabila li’an dikibatkan karen atidak mengakui status anak maka garis keturunan sang anak tidak dapat dihubungkan dengan sang suami, tapi dihubungkan dengan ibunya.[3]
2.      Ila’
Menurut bahasa, Ila’ adalah sumpah semata-mata (mutlak). Dikatakan, ala-yuli-ila’ ketika seseorang bersumpah, baik bersumpah untuk tidak mendekati istrinya ataupun yang lain. Sedangkan menurut istilah syariat, ila’ adalah sumpah suami untuk tidak mendekati istrinya selama empat bulan, baik berupa sumpah kepada Allah ataupun mengantungkan adanya tindakan mendekati si istri pada perbuatan yang sulit dilaksanakan oleh jiwa manusia.
Artinya ; “Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh  bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jikalau mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Tahu.”[4]
Apabila batas waktu 4 bulan telah berlaku dan suami tidak kembali kepada istrinya maka terjadilah perceraian antara suami istri tersebut. Proses perceraian tersebut dapat melalui talak atau istrinya mengadukan permasalahannya kepada hakim di pengadilan dan hakim menetapkan perceraian itu.[5]
Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa rukun ila’ ada 6, yaitu:
1.    Mafluh bihi, yaitu bersumpah dengan Allah.
2.    Mafluh alaih, yaitu bersumpah tidak akan menyentuh istri.
3.    Sighat, yaitu seseorang yang bersumpah dengan sighat (ucapan). Umpamanya :
وَالله ِلَااَطِءُزَوْجَتِيْ
               Artinya : “Demi Allah saya tidak akan mengumpuli istri saya.”
Ucapan ila’ itu terbagi menjadi dua macam : sharih (tegas) dan kinayah (metonimia). Ucapan yang sharih adalah ucapan yang menunjukkan kepada tujuan tanpa ada kemungkinan kepada sesuatu yang lain. Contohnya: “Demi Allah, aku tidak akan berhubungan badan denganmu”. Ucapan kinayah adalah ucapan yang mengandung makna lain. Seperti : “Aku tidak akan menyelimutimu”, “Aku tidak akan masuk kepadamu”, dan “Aku tidak akan menyatukan kepalamu dengan kepalaku”. Contoh-contoh ucapan seperti ini tidak dapat menjadi ila’, kecuali dengan adanya niat. Seandainya suami mengaku, bahwa dirinya menghendaki makna selain bersetubuh maka ucapannya itu dibenarkan dalam pengadilan.[6]
4.    Muddah (masa), yaitu masa ila’ adalah 4 bulan atau lebih.
5.    Suami.
6.    Istri.
3.      Zhihar
Zhihar dalam bahasa arab adalah mashdar dari kata zhahara yang berasal dari akar kata azh-zhahr, yaitu ucapan suami kepada istrinya,“kamu bagiku seperti punggung ibuku.” Sementara dalam terminologi fuqaha, zhihar adalah perilaku suami yang menyerupakan istrinya dengan perempuan yang diharamkan baginya secara permanen (selamanya), atau dengan salah satu anggota tubuh perempuan itu, yang tidak boleh diperlihatkan olehnya, seperti punggung, perut dan paha. Contohnya : ucapan suami kepada istrinya : ”Kamu bagiku seperti punggung ibuku.”atau “Seperti perut saudaraku, bibi dari pihak ibuku, atau bibi dari pihak ayahku.”
Dasar hukum zhihar
Para ulama’ sepakat mengatakan bahwa zhihar itu hukumnya haram. Oleh karena itu orang yang melakukan zhihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Seseorang yangmenzhihar istrinya akan berakibat :
1)   Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zhihar.
2)   Penzhihar wajib membayar kafarat zhihar.[7]
Adapun untuk menghapus kemungkaran ini dengan kafarat (penebus) berikut ini secara berurutan : Memerdekakan budak perempuan, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan 60 orang miskin. Keduanya haram untuk bersentuhan sebelum mengeluarkan kafarat tersebut.[8]



4.      Talak
Talak terambil dari kata Ithlaq yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilah syara’ :
حَلٌ رَبِطَةِ الزَّوَاجِ وَاِنْهَاءُ الْعَلاَقَةِ اَلزَّوْجِيَّةِ  yaitu melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Menurut Al-Jaziry talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in.
Macam-macam Talak
1.      Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi 3 macam yaitu :
a.   Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan perintah Allah dan Rasulullah SAW yaitu talak yang dilakukan ketika istri dalam keadaan suci dan belum disetubuhi dan kemudian dibiarkan sampai selesai menjalankan iddahnya. Secara jelas jika suami menceraikan istrinya dalam keadaan suci yang belum dicampuri, maka dengan demikian ia telah sejalan dengan sunnah karena ia menceraikan istrinya yang langsung dapat menjalankan ‘iddahnya seperti yang diperintahkan Allah dalam Q.S.Ath-Thalaq :1 yang artinya ”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu”. [9]
b.   Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntutan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni, yang termasuk talak Bid’i ialah :
1)   Mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga kali secara terpisah-pisah dalam satu tempat atau satu waktu.
2)   Talak yang dijatuhkan  terhadap istri pada waktu haid, baik di permulaan haid maupun di pertengahannya.
3)   Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi tidak pernah digauli oleh suaminya.
2.      Ditinjau dari ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, talak dibagi 2 yaitu :
a.   Talak Raj’i yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu dan istri benar-benar sudah digauli. Suami boleh merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa iddah, dalam kondisi ini, suami berhak merujuknya lagi baik istri setuju atau tidak. Jelasnya talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istri sebagai talak satu atau talak dua, apabila istri berstatus iddah talak raj’i, suami boleh rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa persaksian dan tanpa mahar baru pula. Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S.Al Baqarah : 229 “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidaka akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah”. Oleh karena itu manakala istri telah diceraikan dua kali kemudian dirujuk atau dinikahi kembali setelah masa iddahnya sebaiknya ia tidak diceraikan lagi.
b.   Talak Ba’in yaitu talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri. Talak ba’in terbagi menjadi 2 yaitu :
1)   Talak Ba’in Sughro yaitu talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada istri bekas suaminya itu. Yang termasuk talak Bai’in Sughro adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istri sebelum terjadi dukhul (bersetubuh) dan khulu’.
2)   Talak Ba’in Kubro yaitu talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri itu ingin melakukannya baik di waktu iddah atau sesudahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang termasuk talak Ba’in Kubro adalah segala macam perceraian yang mengandung unsur-unsur sumpah sepertiu ila, dzihar, Li’an.
Dalam Q.S.Al Baqarah : 230 dijelaskan bahwa apabila seorang suami menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka perempuan itu tidak boleh di kawini lagi sebelum perempuan itu menikah dengan laki-laki lain. [10]
Dasar Hukum Talak
Talak itu perbuatan halal yang dibenci Allah, seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim :
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.
Rasulullah SAW bersabda : “Wanita yang minta talak suaminya tanpa ada masalah, maka bau surga diharamkan baginya”.
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak setiap perbuatan halal itu disukai tetapi ada sesuatu yang disukai dan yang dibenci. Sedangkan islam sangat menginginkan ketenangan hidup suami istri dan melindungi kerusakan serta meraih cinta dan pergaulan yang baik. Allah menjadikan talak sebagi obat yang pahit rasanya. Untuk suami istri yang telah gagal, maka talak adalah obat satu-satunya seperti pembedahan yang harus dilakukan untuk memelihara keselamatan tubuh.[11]
Ulama Hanabilah (penganut madzhab Hambali) memperinci hukum talak sebagai berikut :
1.    Talak Wajib, misalnya talak dari hakam perkara syiqaq yakni perselisihan suami istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi dan kedua pihak memandang perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Yang termasuk talak wajib ialah talak dari orang yang melakukan ila terhadap istrinya setelah lewat waktu 4 bulan.
2.    Talak Haram yaitu talak yang tidak diperlukan. Dihukumi haram karena akan merugikan suami dan istri serta tidak ada manfaatnya.
3.    Talak Mubah terjadi hanya apabila diperlukan misalnya karena istri sangat jelek, pergaulannya jelek atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari pihak istri.
4.    Talak mandub atau talak sunnah yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah keterlaluan dalam melanggar perintah-perintah Allah misalnya meninggalkan sholat atau kelakuannya tidak dapat diperbaiki lagi.[12]






IV.        ANALISIS
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Muslimah Ibadah-Mua’amalat, Jakarta : Pustaka Amani, 1994.
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, terj. Nur Khozin Jakarta : Amzah, 2010.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana, 2006.
Mathlub, Abdul Majid Mahmud, Panduan Hukum Keluarga Sakinah,terj. Harits Khotib, Fadly dan Ahmad, Surakarta : Era Intermedia, 2005.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang : Dina Utama Semarang, 1993.
Sahrani, M.A.Tihami dan Sohari, Fikih Munakahah Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta : Rajawali  Press, 2009.



[1] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang : Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 163-164
[2] Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah,terj. Harits Fadly dan Ahmad Khotib (Surakarta : Era Intermedia, 2005), hlm. 426-427
[3] Abdul Majid Mahmud Mathlub, hlm. 433-436
[4] Abdul Majid Mahmud Mathlub, hlm. 437-438
[5] Djamaan Nur, hlm. 162
[6] Abdul Majid Mahmud Mathlub, hlm. 422
[7] Djamaan Nur, hlm. 154
[8] Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, terj. Nur Khozin (Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 363
[9] Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta : Teras, 2011), hlm. 95-96
[10] M.A.Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahah Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : Rajawali  Press, 2009), hlm. 245.
[11] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mua’amalat, (Jakarta : Pustaka Amani, 1994), hlm. 279-280.
[12] M.A.Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahah Kajian Fikih Nikah Lengkap, hlm. 249-250.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar