PUSAT-PUSAT PERADABAN ISLAM DI BAGHDAD, KAIRO, ISFAHAN, ISTAMBUL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam II
Dosen pengampu: DR. Muslih MZ, M. A.
Disusun
oleh :
1.
Latifatus
Sifa : 103111121
2.
Mahfud
Sazali : 103111122
3.
Malikhah : 103111123
4.
Maria
Ulfa : 103111124
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2011
PUSAT-PUSAT PERADABAN ISLAM DI BAGHDAD, KAIRO, ISFAHAN, DAN ISTAMBUL
I.
PENDAHULUAN
Studi Islam pada tahun 1970-an
sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Arab, Timur Tengah dan Afrika Utara,
termasuk Spanyol Islam, yang merupakan kawasan pengaruh kebudayaan Persia/
Iran, dan negara-negara Islam Asia Tengah.
Studi Islam seperti ini bahkan masih terlihat dalam tulisan-tulisan
kontemporer yang mengkaji masalah-masalah ke-Islaman, akan tetapi sekarang
kawasan itu menjadi luas dengan ditambahkannya Asia Tenggara sebagai suatu
kawasan baru dalam studi ke-Islaman.
Keberhasilan umat Islam dalam memahami Al-Quran telah terbukti
secara historis, hal itu terbukti dengan adanya realisasi ajaran-ajaran Islam
yang berkembang dalam berbagai aspek, diantaranya politik, ekonomi, sosial,
sains, dan lain-lain.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipaparkan terkait
pusat-pusat perkembangan Islam di kawasan Timur Tengah, yang tentunya masih
mampu memberikan pengaruh terhadap kehidupan kita sekarang ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
pusat peradaban Islam di Baghdad/ Irak?
2.
Bagaimana
pusat peradaban Islam di Kairo/ Mesir?
3.
Bagaimana
pusat peradaban Islam di Isfahan/ Persia?
4.
Bagaimana
pusat peradaban Islam di Istambul/ Turki?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pusat
peradaban Islam di Baghdad/ Irak
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, Baghdad menjadi pusat
kegiatan intelektual, musik, puisi, kesastraan dan filsafat mulai berkembang.
Sinar ilmu pengetahuan tambah bercahaya yang demikian karena negara-negara
bagian dari kerajaan Islam raya berlomba-lomba dalam memberi kedudukan
terhormat kepada para ulama dan para pujangga.
Adapun zaman keemasan khusus dalam bidang ilmu pengetahuan adalah
periode yang sedang kita bicarakan, demikian Jarji Zaldan melukiskan masa
daulat Abbasiyah IV, karena dalam masa tersebut berbagai ilmu pengetahuan telah
matang, pertumbuhannya telah sempurna dan berbagai kitab yang bermutu telah
cukup banyak dikarang terutama ilmu bahasa, sejarah, geografi, adab, dan
filsafat.
Pada awal sejarahnya, ilmu-ilmu berkembang dalam bidang qira’ah,
tafsir dan hadits dan kemudian menyusul ilmu fiqh. Ilmu-ilmu ini bertambah
subur, sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat. Telah diketahui bahwa ilmu
fiqh telah matang dan berkembang kaidah-kaidahnya pada masa daulat Abbasiyah
II. Dari ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim
ulama berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan keahlian
bidang-bidang ilmu pengetahuan.[1]
Baghdad yang merupakan ibukota Irak menjadi tempat pilihan Khalifah al-Mansur. Baghdad
yang memiliki wilayah strategis, cukup menjadi syarat sebagai ibukota yang
diperlukan oleh Khalifah al-Mansur.
Khalifah al-Mansur ini telah mengadakan penyelidikan terkait
keistimewaan pada tempat yang telah dipilih untuk menjadi ibukota kerajaannya,
dan telah melibatkan diri di dalam membuat segala persiapan dan pelaksanaannya.[2]
Dalam membangun kota ini, Khalifah mempekerjakan ahli bangunan
terdiri dari arsitektur-arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli
pahat, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syiria, Mosul, Basrah, dan Kufah
yang berjumlah sekitar 100.000 orang.[3]
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan
kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Setelah masa al-Manshur, kota Baghdad
menjadi lebih termasyur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan
peradaban dan kebudayaan Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman
pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan anaknya al-Ma’mun
(813-833).
Banyak para ilmuan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk
mendalami ilmu pengetahuan yang dituntutnya. Dari kota inilah memancar sinar
kebudayaan dan peradapan Islam keseluruh dunia. Prestise, supremasi ekonomi,
dan aktivis intelektual merupakan tiga keistimewaan kota ini. Kebesarannya
tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi meliputi seluruh negeri Islam. Baghdad
ketika itu menjadi pusat peradapan dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu
pengetahuan dan sastra berkembang pesat. Banyak buku filsafat yang sebelumnya
dipandang sudah ‘mati’ dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Khalifah al-Makmum memiliki perpustakaan yang dipenuhui dengan beribu-ribu buku
ilmu pengetahuan. Perpustakaan itu bernama Bait al-Hikmah.[4]
Kemunduran Baghdad
Semua kemegahan, keindahan, dan kehebatan kota Baghdad yang dibangun
pertama kali oleh khalifah al-Manshur itu hanyalah tinggal kenangan. Semuanya
seolah-olah hanyut dibawah oleh sungai Tigris, setelah kota ini dibumihanguskan
oleh tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan tahun 1258 M.
Di luar daerah kekuasaan Mongol berkuasa daulah keturunan Turki.
Mereka barkuasa dari perbatasan Siria di sebelah Timur sampai keperbatasan
Mesir di sebelah Barat, terdiri daulah Mamluk di Mesir dan Daulah Ustmani di
Asia Kecil. Sedangkan keturunan Arab berkuasa di Yaman dan Maghribi.
Pada masa itu Dunia Islam yang dikuasai oleh Jenghis Khan terpecah
belah, saling serang menyerang satu sama lain, sehingga tidak ada sebuah
kerajaan besar yang menjadi tumpuan harapan umat Islam dan sempat membangun.
Hanya ada satu cabang di India yang memiliki kekuasaan yang stabil, namun
sayang harus bersaing dengan umat Hindu sehingga praktis juga tidak sempat
membangun. Sultan-sultan Mamluk di Mesir, walaupun daerahnya tidak mengalami
penyerbuan Mongol, tetapi diserbu oleh Salibiyah, ditambah lagi sultan-sultan
Mamluk bukan dari satu keturunan sehingga secara praktis daulah Mamluk pun
tidak sempat membangun. Dengan demikian masa Mongol ini merupakan masa
perpecahan yang sangat parah di dalam sejarah kebudayaan Islam.[5] Semua
bangunan kota, termasuk istana tersebut dihancurkan. Pasukan Mongol itu juga
meruntuhkan perpustakaan yang merupakan bidang ilmu dan membakar buku-buku yang
terdapat didalamnya.
Selain itu, penguasaan Mongol atas daulah Islam hampir memusnahkan
unsur Arab dan bahasanya, juga agama Islam. Dengan tindakan pemusnahan,
pembakaran, dan pembunuhan selama peperangan maka ratalah kota daerah yang
dikuasai. Mereka bunuh penduduknya, mereka rampas hartanya, mereka runtuhkan
gedung-gedungnya, mereka bakar kutubul khanahnya, maka musnahlah perbendaharaan
kebudayaannya. Namun suatu hal yang luar biasa bahwa Jenghis Khan yang
merunthkan semua itu, diantara keturunannya ada yang bangun menjadi pemelihara
dan pembangun kembali agama dan kebudayaan Islam.[6]
Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh pasukan Timur Lenk,
dan tahun 1508 M oleh tentara oleh tentara kerajaan Safawi. Dan sekarang Kota Baghdad,
ibu kota Irak sekarang memang mengambil lokasi yang sama, tetapi ia sama sekali
tidak mencerminkan kemajuan kota Baghdad lama.[7]
B.
Pusat
peradaban Islam di Kairo/ Mesir
Bangsa Mesir termasuk bangsa yang paling tua dalam sejarah. Negara
Mesir telah didiami oleh bangsa Mesir semenjak beribu tahun yang lewat. Bangsa
ini telah maju dalam segala macam corak kehidupan. Berilmu pengetahuan yang
luas dan berkebudayaan yang tinggi. Mereka dalam ilmu pengetahuan dan
kebudayaan itu telah mendahului bangsa- bangsa yang lain beribu tahun lamanya.
Bekas-bekas peninggalan mereka yang berupa bangunan-bangunan,
piramida-piramida, candi-candi, tugu-tugu( obelisk ) serta arca-arca besar dan
kecil masih berdiri dengan megah sampai sekarang. Arca-arca dan obelisk itu
sekarang ada yang masih berdiri di Mesir ditempat semula didirikan dan ada yang
telah dipindahkan di museum Mesir, bahkan ada yang berada diluar negeri. Pada
saat itu, penggalian-penggalian masih dilakukan sampai sekarang di bumi lembah
Nil itu dan masih diiketemukan peninggalan-peninggalan bangsa Mesir purba yang
amat berharga.
Semuanya itu menunjukkan ketinggian ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebudayaan mereka dimasa bahari itu, yaitu masa yang dikenal dalam sejarah
dengan sebutan “Mesir Lama” atau masa para Fir’aun.[8]
Mesir merupakan wilayah dunia Islam yang terpenting pada masa ini,
karena letak geografisnya yang berhadapan langsung dengan orang-orang salib.
Posisinya semakin bertambah penting setelah dibukanya Terusan Suez. Pada masa
kerajaan, negeri ini merupakan pusat khilafah Ustmaniyah. Setelah penghancurannya
oleh Mamluk pada tahun 923 H/ 1517M, posisinya semakin kurang. Istambul telah
menjadi pusat khalifah Ustmaniyah dan Mamluk telah melakukan pembagian wilayah
di Mesir ini.[9]
Perkembangan Mesir
Perkembangan Islam di Mesir yang ditandai adanya salah satu
kekhalifahan yang berjaya saat itu, yaitu adanya kelahiran dinasti Fatimiyah.
Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya dinasti Syiah dalam Islam. Dinasti yang
didirikan pada tahun 909 M di Tunisia ini sebagai tandingan bagi penguasa dunia
Muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasiyah.[10]
Wilayah dinasti Fatimiyyah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan
Syiria. Setelah pembangunan kota Kairo selesai lengkap dengan istananya, Jauhar
As-Siqili mendirikan masjid Al Azhar pada 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid Al
Azhar dalam perkembanganya menjadi universitas besar.
Kota Kairo mengalami puncak kejayaan pada masa dinasti Fatimiyyah,
yaitu pada masa pemerintahan Salahuddin Al Ayyubi, pemerintahan Baybars, dan
pemerintahan An Nasir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fatimiyyah dimulai
dengan Al Muis dan mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin Abu Manshur Nizar
al-Aziz pada tahun 975-996 M. Dibawah kekuasaannya, kekhalifahannya telah mampu
mengalahkan penguasa-penguasa Baghdad. Sehingga ia berhasil menempatkan
kekhalifahan Fatimiyyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania
Timur.
Dinasti Fatimiyyah dapat ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiyah yang
didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, seorang pahlawan dalam perang Salib.
Salahuddin tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh
dinasti Fatimiyyah tetapi mengubah orientasi keagamaan dari Syiah menjadi
Ahlussunnah.
Dinasti Mamluk
Kekuasan dinasti Ayyubiyah di Mesir diteruskan oleh dinasti Mamalik.
Kaum Mamluk menguasai Mesir dan Siria tahun 648-922/ 1250-1517. Mamluk atau
Mamalik (jamak), secara harfiah berarti budak-budak yang dimiliki. Mereka
adalah orang-orang Turki yang direkruit dari dua kelompok, yakni Mamluk Bakhri
dan Mamluk Buruj. Yang pertama adalah karena tempat tinggal mereka di pulau
Ar-Raudah yang terletak seakan di laut (Arab, Bahr), yang ada di sungai Nil,
dan yang ke dua adalah karena mereka menempati benteng (Arab, Burj) di Kairo.
Kaum Bakhri berasal dari Qipchaq, Rusia Selatan, yang merupakan percampuran
antara Mongol dan Kurdi, sedangkan Burj adalah orang-orang Circassia dan
Caucasus.
Dinasti ini mampu mempertahankan pusat kekuasaanya dari serangan
bangsa Mongol dan bahkan dapat mengalahkan tentara Mongol Ain Jalut dibawah
pimpiman Baybars yang berkuasa dari 1260- 1277 M. Baybars juga dikenal sebagai
perang Salib. Pada waktu itu, Kairo menjadi satu-satunya pusat peradaban Islam yang
selamat dari serangan Mongol. Kairo ketika itu menjadi pusat peradaban Islam
yang terpenting.
Dinasti Mamluk berjaya dalam menghadapi ekspansi Mongol ke arah
barat. Pasukan dari Timur yang telah membumihanguskan Baghdad itu dipukul oleh
Mamluk dibawah pimpinannya, Qutus dan Baybars di Ain Jalut tahun 658/1260.
Mamluk juga dihormati oleh dunia Islam saat itu karena berhasil menghalau
tentara Salib dari pantai Syro-Palestina, untuk kemudian mengembangkan
kekuasaannya ke Barat hingga Cyrenaica, ke utara gunung Taurus, Mubia dan
Massawa, dan ke selatan melindungi kota-kota suci di Arabia.
Masa dinasti Mamluk merupakan kemakmuran dan kejayaan dibidang
ekonomi dan budaya, disamping seni dan arsitektur yang mempunyai warna
tersendiri, seperti terlihat dalam hasil karya seni yang ada pada keramik dan
logam. Hubungan perdagangan antara wilayah mamluk dan dunia luar dikembangkan,
dengan menjalin persahabatan bersama raja-raja Kristen di Eropa. Mamluk juga
berusaha menghalangi meluasnya bangsa Portugis yang telah mampu mengarungi
lautan di lautan Hindia dengan menempatkan pasukannya di perairan Arabia.
Akhirnya dinasti Mamluk dikalahkan oleh Turki Ustmani dibawah sultan Salim
tahun 923/1517, Mesir selanjutnya diperintah oleh Dinasti Ustmani. Walau
demikian sesungguhnya kaum Mamluk masih bercokong di Mesir hingga habis sama
sekali riwayatnya tahun 1226/1811 dibawah tekanan Muhammad Ali Pasya, seorang
gubernur Turki yang mendapat otonomi wilayah di Mesir itu.[11]
Pada tahun 1575 M, dinasti Mamalik dapat dikalahkan oleh dinasti
Ustmani di Turki dan sejak itu Kairo hanya dijadikan sebagai Ibukota provinsi
Ustmani.[12]
C.
Pusat
peradaban Islam di Isfahan/ Persia
Kota Isfahan adalah ibu kota kerajaan Safawi. Pada waktu Abbas I
Sultan Safawiyah menjadikan Isfahan sebagai ibukota kerajaanya, kota ini
menjadi kota yang luas dan indah. Kota ini terletak diatas sungai Zandah, dan
diatasnya membentang tiga buah jembatan yang megah dan indah.
Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy,
tempat berdirinya Syah Rastan kemudian, dan Yahudyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar
atau Yazdajir I atas anjungan isterinya yang beragama Yahudi. Ada beberapa
pendapat tentang kapan kota ini ditaklukan oleh tentara Islam. Pendapat pertama
mengatakan penaklukan itu terjadi pada tahun 19 H (640 M), dibawah pimpinan
Abdullah Ibn Atban atas perintah Umar Ibn Al-Khatab untuk menaklukkan kota Jayy
yang merupakan salah satu ibukota propinsi Persia waktu itu.
Setelah beberapa peristiwa, penguasanya memilih masuk Islam
daripada membayar pajak. Pendapat lain, yaitu Al-Thabari, menyebutkan bahwa
penaklukan itu terjadi pada tahun 21 H (642 M). Aliran Bashrah menyebutkan,
penaklukan Isfahan terjadi pada tahun 23 H (644 M) dibawah pimpinan Abu Musa
Al-Asy’ary, yaitu setelah penaklukkan Nahewand, atau dibawah pimpinan Abdullah
Ibn. Badil yang menerima penyerahan kota itu dengan syarat pembayaran pajak.
Penaklukkan uang terjadi pada masa khalifah Abbasiyah, Al Mu’taz, ketika
tentara Abbasiyah berusaha memadamkan pemberontakan Al Alawiyyin di Thabaristan
tahun 247 H (861 M). Sejak itu, kota ini menjadi kota penting sebagai ibukota
propinsi dan pusat industri dan perdagangan.
Kota ini berbentuk bundar, pintunya ada empat dengan menara
pengontrol sebanyak 100 buah. Lebar tembok kota sekitar setengah farsakh, (satu
farsakh sekitar 8 km atau 3,5 mil). Rukn al-Daulah Ibn Buwaih memperluas kota
itu dengan sebidang tanah dan memperbaiki tembok-tembok kota yang masih berdiri
hingga abad ke 5 H (11 M). Di dalam kota ini terdapat bangunan menyerupai
benteng, disekitarnya terdapat tambang terbuat dari perak yang sudah tidak
berfungsi lagi sejak penaklukkan tentara Islam, dan juga tambang tembaga dan
batu bahan celak. Ardasir, raja Persia, pernah membangun irigasi untuk
pengaturan air dari sungai Zandah bernama Zirrinrod, berarti sungai emas.
Hingga sekarang, perekonomian negeri ini sangat tergantung pada pertanian
kapas, candu, dan tembakau.
Kota ini sebelum berada dibawah kekuasaan kerajaan Syafawi, sudah
beberapa kali mengalami pergantian penguasa: Dinasti Samani tahun 301H/ 913 M,
kemudian direbut oleh Mardawij tahun 316 H/ 928 M dan memerdekakan diri dari
kekuasaan Baghdad. Setelah itu, jatuh ke tangan penguasa Bani Buwaih, dan pada
tahun 421 H/ 1030 M direbut oleh Mahmud al-Ghaznawi, penguasa dinasti
Ghaznawiyah. Dari penguasa Ghaznawiyah ini, Isfahan lepas ke tangan penguasa
Seljuk dan dijadikan sebagai tempat tinggal sultan Maliksyah. Diawal abad ke 6
H/ 12 M, di kota ini Syiah Ismailiyyah banyak memperoleh pengikut.
Pada tahun 625 H/ 1228 M terjadi pertempuran besar di Isfahan,
ketika tentara Mongol datang menyerbu negeri-negeri Islam dan menjadikan
Isfahan sebagai salah satu bagian dari wilayah kekuasaan Mongol itu. Ketika Timur
Lenk menyerbu negeri-negeri Islam pada tahun 790 H/ 1388 M, kota Isfahan itu
jatuh dibawah kekuasaan Timur Lenk. Setelah itu, kota Isfahan dikuasai oleh
kerajaan Turki Ustmani pada tahun 955 H/ 1548 M. Pada tahun 1355 H/ 1721 M
terjadi pertempuran antara Husein Syah, raja Shafawi dengan Mahmud Al Afghani,
yang mengakhiri riwayat kerajaan Shafawi. Pada tahun 1441 H0 1729 M, kota Isfahan
berada dibawah kekuasaan Nadir Shah.
Di kota ini berdiri bangunan-bangunan indah seperti istana,
sekolah- sekolah, masjid- masjid, menara, pasar dan rumah- rumah dengan ukiran
arsitektur yang indah. Sultan Abbas I membangun Masjid Shah yang merupakan yang
merupakan salah satu masjid indah dan besar di dunia.[13]
D.
Pusat
peradaban Islam di Istambul/ Turki
Abad pertengahan di Eropa sering disebut sebagai zaman kemunduran
jika dibandingkan dengan zaman klasik (Yunani-Romawi). Sebaliknya negara-negara
Arab pada abad pertengahan mengalami kemajuan, namun akhirnya negeri-negeri itu
sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan dalam bidang kebudayaan dan
kekuasaan.
Diantara negara-negara Arab pada masanya, kerajaan Turki Ustmani
merupakan kerajaan terbesar dan paling lama berkuasa, berlangsung selama enam
abad lebih (1281-1924). [14]
Kota Istambul adalah ibu kota kerajaan Turki Ustmani. Kota ini
awalnya merupakan ibu kota kerajaan Romawi Timur dengan nama Konstantinopel.
Konstantinopel sebelumnya adalah sebuah kota bernama Bizantium, kemudian
diganti dengan nama Konstantinopel oleh Kaisar Constantin, Kaisar Romawi Timur.
Pada tahun 395 M, Kerajaan Romawi pecah menjadi dua, yaitu Romawi
Timur dan Romawi Barat. Romawi Barat beribukota di Roma (Italia), sedangkan Romawi
Timur beribukota di Konstantinopel.
Konstantinopel jatuh ke tangan umat Islam pada masa dinasti Turki
Ustmani dibawah pimpinan Sultan Muhammad II yang bergelar Muhammad Al-Atih pada
tahun 1453, dan dijadikan sebagai ibu kota kerajaan Turki Ustmani. Bahkan jauh
sebelum sultan Muhammad Al-Fatih dapat menguasai Konstantinopel, para penguasa
Islam sudah sejak zaman para Khulafaur Rasyidin, kemudian khalifah Bani Umayyah
dan khalifah Bani Abbasiyah berusaha untuk menaklukkan kota Konstantinopel.
Namun, baru pada masa kerajaan Turki Ustmani usaha itu dapat berhasil.
Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, kota Konstantinopel yang artinya
Constantin, diubah namanya menjadi Istambul yang artinya kota Islam.
Sebagaimana halnya pada masa kerajaan Romawi Timur, kerajaan Turki Ustmani
dengan ibu kota Istambul juga menjadi sebuah negara adi daya pada masa kejayaannya.
Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar wilayah Eropa Timur, Asia Kecil,
dan Afrika Utara. Bahkan daerah-daerah Islam yang lebih jauh juga mengakui
kekuasaan Istambul.
Etnolinguistik Kawasan Turki
Sekalipun secara kultural Turki sebagai bagian dari kawasan
peradaban Islam Irani, tapi ia sendiri merupakan sebagai bagian dari wilayah
peradaban Islam yang memiliki corak dan keragaman yang berbeda dengan induknya
(Persia-Irano). Turki merupakan wilayah kebudayaan Islam yang sangat luas dan
beraneka ragam yang meliputi banyak etnik dan wilayah termasuk memainkan
berbagai variasi lokal yang sangat menonjol, terutama di wilayah-wilayah Eropa
yang kelak meninggalkan jejak sejarah etnik dan agama yang sangat panjang.
Dalam pendekatan etnolinguistik, orang-orang yang berbicara dalam
berbagai bentuk bahasa Turki tidak membentuk satu kawasan kultural tersendiri,
tapi telah memproyeksikan keragaman yang cukup fenomenal di dunia Islam,
khususnya wilayah-wilayah Atlantik. Mereka yang tinggal di Asia Tengah dan transoxiana
dimana unsur etnis Turki dan faktor-faktor kultural Persia yang benar-benar
berbaur kemudian membentuk suatu kawasan tersendiri yang juga ditandai oleh
kehadiran unsur-unsur dan karakter nomadik yang cukup kuat. Aspek lain dari
ciri kebudayaan Turki di Asia Tengah adalah juga mengandung elemen-elemen mongol,
yang bisa jadi akan sulit ditemukan diseputar kawasan kebudayaan Turki lainnya.
Kaukasus merupakan daerah yang terbentuk dari unsur-unsur Turki,
dan Persia termasuk unsur-unsur Armenia serta Georgia. Dalam komposisi
etniknya, juga dalam cita rasa keseniannya, telah menunjukan wilayah kultural
tersendiri yang terkait erat dengan Persia.
Wilayah-wilayah muslim di Balkan terutama di Yugoslafia dan Albania,
yang walaupun secara etnis berbeda, namun keduanya telah diresapi secara
mendalam oleh karakteristik Islam Turki secara umum kenyataan ini dapat dilihat
dari berbagai penyebaran orde sufi Turki, Bektasiyah dan Maulafiyah, pemilihan
mazhab hukum Hanafi sebagaimana kebiasaan orang-orang Turki, bentuk-bentuk
arsitektur masjid, termasuk juga pada peniruan mereka terhadap kesustraan Turki
dalam jumlah yang cukup besar. Keseluruhannya telah menunjukan dan menyebabkan
wilayah kebudayaan di Balkan terkait erat kebudayaan dunia Turki.[15]
Bidang Arsitektur
Dalam bidang arsitektur, masjid-masjid yang dibangun membuktikan
kemajuannya. Masjid merupakan suatu ciri dari sebuah kota Islam, tempat kaum
muslimin menjalankan kewajiban ibadahnya. Gereja Aya Sophia, setelah
ditaklukkan kaum muslimin diubah menjadi sebuah masjid agung yang terpenting di
Istambul. Beberapa masjid yang megah didirikan di Istambul, antara lain: Masjid
Agung Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Abu Ayub Al-Abshari, Masjid Bayazid
dengan arsitektur Persia, dan Masjid Sulaiman Al-Qununi.[16]
Bidang Militer
Dengan adanya kondisi objektif yang dihadapi Turki Utsmani para
pemimpin mewujudkan negara yang berdasarkan sistem dan prinsip kemiliteran.
Pecahnya perang dengan Bizantium misalnya mengilhami khalifah-khalifah Orkhan
untuk mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan militer sehingga terbentuklah
sebuah kesatuan militer yang disebut yeniseri atau Inkisariyah (Arab). Kebijakan
kemiliteran ini lebih dikembangkan oleh pengganti Orkhan, yaitu Murad dengan
membentuk sejumlah korps atau cabang-cabang yeniseri. Seluruh pasukan
militer dididik dan dilatih dalam sarana militter dengan pembekalan semangat
perjuangan Islam. Kekuatan militer yeniseri ini berhasil mengubah negara
Utsmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan
dorongan sangat besar bagi penaklukan negeri-negeri non muslim.
Bidang Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Turki Ustmani, para sultan bukan hanya
merebut negeri-negeri Arab, tetapi juga seluruh wilayah antara Kaukasus dan
kota Wina, bahkan sampai ke Balkan. Dengan demikian, tumbuhlah pusat-pusat
Islam di Trace, Macedonia, Thessaly, Bosnia, Herzegovina, Bulgaria, Albania,
dan sekitarnya. Eksistensi Turki Ustani sangat diperhitungkan oleh ahli-ahli
politik Barat. Hal ini didasarkan pada realita sejarah bahwa selama
berabad-abad kekuasaannya, Turki telah memberikan kontribusi yang besar
terhadap perkembangan peradaban, baik dikawasan negara-negara Arab, Asia, atau
bahkan Eropa.[17]
Pengaruh jatuhnya Konstantinopel besar sekali bagi Turki Ustmani. Kota tua itu adalah
pusat Kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu pengetahuan dan menjadi
pusat agama Kristen Ortodoks. Kesemuanya itu diwarisi oleh Ustmani.dari segi
letak, kota itu sangat strategis karena menghubungkan dua benua secara
langsung, yaitu Eropa dan Asia.
Istambul merupakan pusat peradaban Islam pada masa kekuasaan Turki Ustmani
yang terpenting. Bukan saja karena keindahan kotanya, tetapi juga karena di
kota bekas pusat kekuasaan Romawi Timur itu terdapat pusat kajian keilmuan yang
mendorong puncak kejayaan peradaban umat Islam.[18]
IV.
KESIMPULAN
Pusat peradaban Islam di Timur Tengah tersebar di beberapa wilayah
diantaranya Turki, Persia, Mesir dan Irak. Kemajuan- kemajuan yang terjadi di
wilayah tersebut seperti Irak yaitu berupa ilmu pengetahuan, Musik, sastra, dan
filsafat. Sedangkan di Persia peradabanya lebih menekankan pada Ilmu Pengetahuan,
selain itu disana jugabanyak didirikan masjid-masjid tempat peribadatan.
Di kawasan Turki, banyak hal yang menjadi bukti adanya perkembangan
Turki pada masa itu. Perkembangan dibidang arsitektur, etnis, pemerintahan
menjadikan keberagaman di kawasan Turki.
Begitu pula di kawasan baghdad, banyak para ilmuan dari berbagai
daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang dituntutnya.
Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradapan Islam keseluruh dunia.
Prestise, supremasi ekonomi, dan aktivis intelektual merupakan tiga
keistimewaan kota ini.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Kami menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang kami
buat. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
AMZAH
Hitti, Philip K. 2005. History of the Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta
Khusaery, Ahmaal. 2003. Sejarah Islam. Cet. 1. Penerj:
Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab.
Jakarta: Logos
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta
Timur: Prenada Media
Syalabi, A. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta
Selatan: PT. Al Husna Zikra
Syukur, Fatah. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra
Yahya, Mochtar.
1985. Perpindahan- Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta: PT.
Bulan Bintang
Yatim, Badri. 2001. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah
II. Jakarta: PT. Grafindo Persada
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
---------------. 2009. Study Kawasan Dunia Islam: Perspektif
Etno-Linguistik dan Geo-politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo
[1] Fatah Syukur, Sejarah
Kebudayaan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 103
[2] A. Syalabi, Sejarahdan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta Selatan: PT.
Al Husna Zikra, 1997), hlm. 177
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), hlm. 277-278
[5] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm.
194
[6] Musyrifah
Sunanto, Ibid, hlm. 197
[8] Mochtar Yahya,
Perpindahan- Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1985), hlm. 442- 423
[9] Ahmad al-Khusaery,
Sejarah Islam, Penerj: Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media Eka sarana,
2003), cet. 1, hlm. 416
[10] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005),
hlm. 787
[11] Ali Mufrodi, Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 118-119
[12] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : AMZAH, 2009 ), hlm. 287
[13] Syamsul Munir, Ibid, hlm. 289-290
[14] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), hlm. 180-181
[15] Ajid Thohir, Study
Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-politik, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2009), hlm. 223-227
[16] Syamsul Munir, Op. Cit, hlm. 290-291
[17] Ajid Thohir, Op.
Cit, hlm. 181
[18] Syamsul Munir,
Ibid, hlm. 291
bermnfaat, izin share dik
BalasHapusMantap
BalasHapusWarnanya terlalu ekstrim, tulisanya jadi susah dibaca
BalasHapus