Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 20 Mei 2013

Sejarah Peradaban Islam (Baghdad, Kairo ,Isfahan dan Istambul)



PUSAT-PUSAT PERADABAN ISLAM DI BAGHDAD, KAIRO, ISFAHAN, ISTAMBUL

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam II
Dosen pengampu: DR. Muslih MZ, M. A.


Disusun oleh :

1.     Latifatus Sifa           : 103111121
2.     Mahfud Sazali         : 103111122
3.     Malikhah                 : 103111123
4.     Maria Ulfa               : 103111124


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA  ISLAM  NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2011


PUSAT-PUSAT PERADABAN ISLAM DI BAGHDAD, KAIRO, ISFAHAN, DAN ISTAMBUL

     I.          PENDAHULUAN

Studi Islam pada tahun 1970-an  sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Arab, Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Spanyol Islam, yang merupakan kawasan pengaruh kebudayaan Persia/ Iran, dan negara-negara Islam Asia Tengah.
Studi Islam seperti ini bahkan masih terlihat dalam tulisan-tulisan kontemporer yang mengkaji masalah-masalah ke-Islaman, akan tetapi sekarang kawasan itu menjadi luas dengan ditambahkannya Asia Tenggara sebagai suatu kawasan baru dalam studi ke-Islaman.
Keberhasilan umat Islam dalam memahami Al-Quran telah terbukti secara historis, hal itu terbukti dengan adanya realisasi ajaran-ajaran Islam yang berkembang dalam berbagai aspek, diantaranya politik, ekonomi, sosial, sains, dan lain-lain.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipaparkan terkait pusat-pusat perkembangan Islam di kawasan Timur Tengah, yang tentunya masih mampu memberikan pengaruh terhadap kehidupan kita sekarang ini.

  II.          RUMUSAN MASALAH
1.        Bagaimana pusat peradaban Islam di Baghdad/ Irak?
2.        Bagaimana pusat peradaban Islam di Kairo/ Mesir?
3.        Bagaimana pusat peradaban Islam di Isfahan/ Persia?
4.        Bagaimana pusat peradaban Islam di Istambul/ Turki?

III.          PEMBAHASAN
A.      Pusat peradaban Islam di Baghdad/ Irak
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, Baghdad menjadi pusat kegiatan intelektual, musik, puisi, kesastraan dan filsafat mulai berkembang. Sinar ilmu pengetahuan tambah bercahaya yang demikian karena negara-negara bagian dari kerajaan Islam raya berlomba-lomba dalam memberi kedudukan terhormat kepada para ulama dan para pujangga.
Adapun zaman keemasan khusus dalam bidang ilmu pengetahuan adalah periode yang sedang kita bicarakan, demikian Jarji Zaldan melukiskan masa daulat Abbasiyah IV, karena dalam masa tersebut berbagai ilmu pengetahuan telah matang, pertumbuhannya telah sempurna dan berbagai kitab yang bermutu telah cukup banyak dikarang terutama ilmu bahasa, sejarah, geografi, adab, dan filsafat.
Pada awal sejarahnya, ilmu-ilmu berkembang dalam bidang qira’ah, tafsir dan hadits dan kemudian menyusul ilmu fiqh. Ilmu-ilmu ini bertambah subur, sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat. Telah diketahui bahwa ilmu fiqh telah matang dan berkembang kaidah-kaidahnya pada masa daulat Abbasiyah II. Dari ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan keahlian bidang-bidang ilmu pengetahuan.[1]
Baghdad yang merupakan ibukota Irak  menjadi tempat pilihan Khalifah al-Mansur. Baghdad yang memiliki wilayah strategis, cukup menjadi syarat sebagai ibukota yang diperlukan oleh Khalifah al-Mansur.
Khalifah al-Mansur ini telah mengadakan penyelidikan terkait keistimewaan pada tempat yang telah dipilih untuk menjadi ibukota kerajaannya, dan telah melibatkan diri di dalam membuat segala persiapan dan pelaksanaannya.[2]
Dalam membangun kota ini, Khalifah mempekerjakan ahli bangunan terdiri dari arsitektur-arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli pahat, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syiria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100.000 orang.[3]
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Setelah masa al-Manshur, kota Baghdad menjadi lebih termasyur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan anaknya al-Ma’mun (813-833).
Banyak para ilmuan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang dituntutnya. Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradapan Islam keseluruh dunia. Prestise, supremasi ekonomi, dan aktivis intelektual merupakan tiga keistimewaan kota ini. Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi meliputi seluruh negeri Islam. Baghdad ketika itu menjadi pusat peradapan dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang pesat. Banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah ‘mati’ dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Khalifah al-Makmum memiliki perpustakaan yang dipenuhui dengan beribu-ribu buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan itu bernama Bait al-Hikmah.[4]

Kemunduran Baghdad
Semua kemegahan, keindahan, dan kehebatan kota Baghdad yang dibangun pertama kali oleh khalifah al-Manshur itu hanyalah tinggal kenangan. Semuanya seolah-olah hanyut dibawah oleh sungai Tigris, setelah kota ini dibumihanguskan oleh tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan tahun 1258 M.
Di luar daerah kekuasaan Mongol berkuasa daulah keturunan Turki. Mereka barkuasa dari perbatasan Siria di sebelah Timur sampai keperbatasan Mesir di sebelah Barat, terdiri daulah Mamluk di Mesir dan Daulah Ustmani di Asia Kecil. Sedangkan keturunan Arab berkuasa di Yaman dan Maghribi.
Pada masa itu Dunia Islam yang dikuasai oleh Jenghis Khan terpecah belah, saling serang menyerang satu sama lain, sehingga tidak ada sebuah kerajaan besar yang menjadi tumpuan harapan umat Islam dan sempat membangun. Hanya ada satu cabang di India yang memiliki kekuasaan yang stabil, namun sayang harus bersaing dengan umat Hindu sehingga praktis juga tidak sempat membangun. Sultan-sultan Mamluk di Mesir, walaupun daerahnya tidak mengalami penyerbuan Mongol, tetapi diserbu oleh Salibiyah, ditambah lagi sultan-sultan Mamluk bukan dari satu keturunan sehingga secara praktis daulah Mamluk pun tidak sempat membangun. Dengan demikian masa Mongol ini merupakan masa perpecahan yang sangat parah di dalam sejarah kebudayaan Islam.[5] Semua bangunan kota, termasuk istana tersebut dihancurkan. Pasukan Mongol itu juga meruntuhkan perpustakaan yang merupakan bidang ilmu dan membakar buku-buku yang terdapat didalamnya.
Selain itu, penguasaan Mongol atas daulah Islam hampir memusnahkan unsur Arab dan bahasanya, juga agama Islam. Dengan tindakan pemusnahan, pembakaran, dan pembunuhan selama peperangan maka ratalah kota daerah yang dikuasai. Mereka bunuh penduduknya, mereka rampas hartanya, mereka runtuhkan gedung-gedungnya, mereka bakar kutubul khanahnya, maka musnahlah perbendaharaan kebudayaannya. Namun suatu hal yang luar biasa bahwa Jenghis Khan yang merunthkan semua itu, diantara keturunannya ada yang bangun menjadi pemelihara dan pembangun kembali agama dan kebudayaan Islam.[6]
Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh pasukan Timur Lenk, dan tahun 1508 M oleh tentara oleh tentara kerajaan Safawi. Dan sekarang Kota Baghdad, ibu kota Irak sekarang memang mengambil lokasi yang sama, tetapi ia sama sekali tidak mencerminkan kemajuan kota Baghdad lama.[7]
B.       Pusat peradaban Islam di Kairo/ Mesir
Bangsa Mesir termasuk bangsa yang paling tua dalam sejarah. Negara Mesir telah didiami oleh bangsa Mesir semenjak beribu tahun yang lewat. Bangsa ini telah maju dalam segala macam corak kehidupan. Berilmu pengetahuan yang luas dan berkebudayaan yang tinggi. Mereka dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu telah mendahului bangsa- bangsa yang lain beribu tahun lamanya.
Bekas-bekas peninggalan mereka yang berupa bangunan-bangunan, piramida-piramida, candi-candi, tugu-tugu( obelisk ) serta arca-arca besar dan kecil masih berdiri dengan megah sampai sekarang. Arca-arca dan obelisk itu sekarang ada yang masih berdiri di Mesir ditempat semula didirikan dan ada yang telah dipindahkan di museum Mesir, bahkan ada yang berada diluar negeri. Pada saat itu, penggalian-penggalian masih dilakukan sampai sekarang di bumi lembah Nil itu dan masih diiketemukan peninggalan-peninggalan bangsa Mesir purba yang amat berharga.
Semuanya itu menunjukkan ketinggian ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan mereka dimasa bahari itu, yaitu masa yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan “Mesir Lama” atau masa para Fir’aun.[8]
Mesir merupakan wilayah dunia Islam yang terpenting pada masa ini, karena letak geografisnya yang berhadapan langsung dengan orang-orang salib. Posisinya semakin bertambah penting setelah dibukanya Terusan Suez. Pada masa kerajaan, negeri ini merupakan pusat khilafah Ustmaniyah. Setelah penghancurannya oleh Mamluk pada tahun 923 H/ 1517M, posisinya semakin kurang. Istambul telah menjadi pusat khalifah Ustmaniyah dan Mamluk telah melakukan pembagian wilayah di Mesir ini.[9]
Perkembangan Mesir
Perkembangan Islam di Mesir yang ditandai adanya salah satu kekhalifahan yang berjaya saat itu, yaitu adanya kelahiran dinasti Fatimiyah. Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya dinasti Syiah dalam Islam. Dinasti yang didirikan pada tahun 909 M di Tunisia ini sebagai tandingan bagi penguasa dunia Muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasiyah.[10]
Wilayah dinasti Fatimiyyah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan Syiria. Setelah pembangunan kota Kairo selesai lengkap dengan istananya, Jauhar As-Siqili mendirikan masjid Al Azhar pada 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid Al Azhar dalam perkembanganya menjadi universitas besar.
Kota Kairo mengalami puncak kejayaan pada masa dinasti Fatimiyyah, yaitu pada masa pemerintahan Salahuddin Al Ayyubi, pemerintahan Baybars, dan pemerintahan An Nasir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fatimiyyah dimulai dengan Al Muis dan mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin Abu Manshur Nizar al-Aziz pada tahun 975-996 M. Dibawah kekuasaannya, kekhalifahannya telah mampu mengalahkan penguasa-penguasa Baghdad. Sehingga ia berhasil menempatkan kekhalifahan Fatimiyyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur.
Dinasti Fatimiyyah dapat ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, seorang pahlawan dalam perang Salib. Salahuddin tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Fatimiyyah tetapi mengubah orientasi keagamaan dari Syiah menjadi Ahlussunnah.
Dinasti Mamluk
Kekuasan dinasti Ayyubiyah di Mesir diteruskan oleh dinasti Mamalik. Kaum Mamluk menguasai Mesir dan Siria tahun 648-922/ 1250-1517. Mamluk atau Mamalik (jamak), secara harfiah berarti budak-budak yang dimiliki. Mereka adalah orang-orang Turki yang direkruit dari dua kelompok, yakni Mamluk Bakhri dan Mamluk Buruj. Yang pertama adalah karena tempat tinggal mereka di pulau Ar-Raudah yang terletak seakan di laut (Arab, Bahr), yang ada di sungai Nil, dan yang ke dua adalah karena mereka menempati benteng (Arab, Burj) di Kairo. Kaum Bakhri berasal dari Qipchaq, Rusia Selatan, yang merupakan percampuran antara Mongol dan Kurdi, sedangkan Burj adalah orang-orang Circassia dan Caucasus.
Dinasti ini mampu mempertahankan pusat kekuasaanya dari serangan bangsa Mongol dan bahkan dapat mengalahkan tentara Mongol Ain Jalut dibawah pimpiman Baybars yang berkuasa dari 1260- 1277 M. Baybars juga dikenal sebagai perang Salib. Pada waktu itu, Kairo menjadi satu-satunya pusat peradaban Islam yang selamat dari serangan Mongol. Kairo ketika itu menjadi pusat peradaban Islam yang terpenting.
Dinasti Mamluk berjaya dalam menghadapi ekspansi Mongol ke arah barat. Pasukan dari Timur yang telah membumihanguskan Baghdad itu dipukul oleh Mamluk dibawah pimpinannya, Qutus dan Baybars di Ain Jalut tahun 658/1260. Mamluk juga dihormati oleh dunia Islam saat itu karena berhasil menghalau tentara Salib dari pantai Syro-Palestina, untuk kemudian mengembangkan kekuasaannya ke Barat hingga Cyrenaica, ke utara gunung Taurus, Mubia dan Massawa, dan ke selatan melindungi kota-kota suci di Arabia.
Masa dinasti Mamluk merupakan kemakmuran dan kejayaan dibidang ekonomi dan budaya, disamping seni dan arsitektur yang mempunyai warna tersendiri, seperti terlihat dalam hasil karya seni yang ada pada keramik dan logam. Hubungan perdagangan antara wilayah mamluk dan dunia luar dikembangkan, dengan menjalin persahabatan bersama raja-raja Kristen di Eropa. Mamluk juga berusaha menghalangi meluasnya bangsa Portugis yang telah mampu mengarungi lautan di lautan Hindia dengan menempatkan pasukannya di perairan Arabia. Akhirnya dinasti Mamluk dikalahkan oleh Turki Ustmani dibawah sultan Salim tahun 923/1517, Mesir selanjutnya diperintah oleh Dinasti Ustmani. Walau demikian sesungguhnya kaum Mamluk masih bercokong di Mesir hingga habis sama sekali riwayatnya tahun 1226/1811 dibawah tekanan Muhammad Ali Pasya, seorang gubernur Turki yang mendapat otonomi wilayah di Mesir itu.[11]
Pada tahun 1575 M, dinasti Mamalik dapat dikalahkan oleh dinasti Ustmani di Turki dan sejak itu Kairo hanya dijadikan sebagai Ibukota provinsi Ustmani.[12]
         
C.      Pusat peradaban Islam di Isfahan/ Persia
Kota Isfahan adalah ibu kota kerajaan Safawi. Pada waktu Abbas I Sultan Safawiyah menjadikan Isfahan sebagai ibukota kerajaanya, kota ini menjadi kota yang luas dan indah. Kota ini terletak diatas sungai Zandah, dan diatasnya membentang tiga buah jembatan yang megah dan indah.
Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy, tempat berdirinya Syah Rastan kemudian, dan Yahudyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjungan isterinya yang beragama Yahudi. Ada beberapa pendapat tentang kapan kota ini ditaklukan oleh tentara Islam. Pendapat pertama mengatakan penaklukan itu terjadi pada tahun 19 H (640 M), dibawah pimpinan Abdullah Ibn Atban atas perintah Umar Ibn Al-Khatab untuk menaklukkan kota Jayy yang merupakan salah satu ibukota propinsi Persia waktu itu.
Setelah beberapa peristiwa, penguasanya memilih masuk Islam daripada membayar pajak. Pendapat lain, yaitu Al-Thabari, menyebutkan bahwa penaklukan itu terjadi pada tahun 21 H (642 M). Aliran Bashrah menyebutkan, penaklukan Isfahan terjadi pada tahun 23 H (644 M) dibawah pimpinan Abu Musa Al-Asy’ary, yaitu setelah penaklukkan Nahewand, atau dibawah pimpinan Abdullah Ibn. Badil yang menerima penyerahan kota itu dengan syarat pembayaran pajak. Penaklukkan uang terjadi pada masa khalifah Abbasiyah, Al Mu’taz, ketika tentara Abbasiyah berusaha memadamkan pemberontakan Al Alawiyyin di Thabaristan tahun 247 H (861 M). Sejak itu, kota ini menjadi kota penting sebagai ibukota propinsi dan pusat industri dan perdagangan.
Kota ini berbentuk bundar, pintunya ada empat dengan menara pengontrol sebanyak 100 buah. Lebar tembok kota sekitar setengah farsakh, (satu farsakh sekitar 8 km atau 3,5 mil). Rukn al-Daulah Ibn Buwaih memperluas kota itu dengan sebidang tanah dan memperbaiki tembok-tembok kota yang masih berdiri hingga abad ke 5 H (11 M). Di dalam kota ini terdapat bangunan menyerupai benteng, disekitarnya terdapat tambang terbuat dari perak yang sudah tidak berfungsi lagi sejak penaklukkan tentara Islam, dan juga tambang tembaga dan batu bahan celak. Ardasir, raja Persia, pernah membangun irigasi untuk pengaturan air dari sungai Zandah bernama Zirrinrod, berarti sungai emas. Hingga sekarang, perekonomian negeri ini sangat tergantung pada pertanian kapas, candu, dan tembakau.
Kota ini sebelum berada dibawah kekuasaan kerajaan Syafawi, sudah beberapa kali mengalami pergantian penguasa: Dinasti Samani tahun 301H/ 913 M, kemudian direbut oleh Mardawij tahun 316 H/ 928 M dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad. Setelah itu, jatuh ke tangan penguasa Bani Buwaih, dan pada tahun 421 H/ 1030 M direbut oleh Mahmud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah. Dari penguasa Ghaznawiyah ini, Isfahan lepas ke tangan penguasa Seljuk dan dijadikan sebagai tempat tinggal sultan Maliksyah. Diawal abad ke 6 H/ 12 M, di kota ini Syiah Ismailiyyah banyak memperoleh pengikut.
Pada tahun 625 H/ 1228 M terjadi pertempuran besar di Isfahan, ketika tentara Mongol datang menyerbu negeri-negeri Islam dan menjadikan Isfahan sebagai salah satu bagian dari wilayah kekuasaan Mongol itu. Ketika Timur Lenk menyerbu negeri-negeri Islam pada tahun 790 H/ 1388 M, kota Isfahan itu jatuh dibawah kekuasaan Timur Lenk. Setelah itu, kota Isfahan dikuasai oleh kerajaan Turki Ustmani pada tahun 955 H/ 1548 M. Pada tahun 1355 H/ 1721 M terjadi pertempuran antara Husein Syah, raja Shafawi dengan Mahmud Al Afghani, yang mengakhiri riwayat kerajaan Shafawi. Pada tahun 1441 H0 1729 M, kota Isfahan berada dibawah kekuasaan Nadir Shah.
Di kota ini berdiri bangunan-bangunan indah seperti istana, sekolah- sekolah, masjid- masjid, menara, pasar dan rumah- rumah dengan ukiran arsitektur yang indah. Sultan Abbas I membangun Masjid Shah yang merupakan yang merupakan salah satu masjid indah dan besar di dunia.[13]  

D.      Pusat peradaban Islam di Istambul/ Turki
Abad pertengahan di Eropa sering disebut sebagai zaman kemunduran jika dibandingkan dengan zaman klasik (Yunani-Romawi). Sebaliknya negara-negara Arab pada abad pertengahan mengalami kemajuan, namun akhirnya negeri-negeri itu sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan dalam bidang kebudayaan dan kekuasaan.
Diantara negara-negara Arab pada masanya, kerajaan Turki Ustmani merupakan kerajaan terbesar dan paling lama berkuasa, berlangsung selama enam abad lebih (1281-1924). [14]
Kota Istambul adalah ibu kota kerajaan Turki Ustmani. Kota ini awalnya merupakan ibu kota kerajaan Romawi Timur dengan nama Konstantinopel. Konstantinopel sebelumnya adalah sebuah kota bernama Bizantium, kemudian diganti dengan nama Konstantinopel oleh Kaisar Constantin, Kaisar Romawi Timur.
Pada tahun 395 M, Kerajaan Romawi pecah menjadi dua, yaitu Romawi Timur dan Romawi Barat. Romawi Barat beribukota di Roma (Italia), sedangkan Romawi Timur beribukota di Konstantinopel.
Konstantinopel jatuh ke tangan umat Islam pada masa dinasti Turki Ustmani dibawah pimpinan Sultan Muhammad II yang bergelar Muhammad Al-Atih pada tahun 1453, dan dijadikan sebagai ibu kota kerajaan Turki Ustmani. Bahkan jauh sebelum sultan Muhammad Al-Fatih dapat menguasai Konstantinopel, para penguasa Islam sudah sejak zaman para Khulafaur Rasyidin, kemudian khalifah Bani Umayyah dan khalifah Bani Abbasiyah berusaha untuk menaklukkan kota Konstantinopel. Namun, baru pada masa kerajaan Turki Ustmani usaha itu dapat berhasil.
Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, kota Konstantinopel yang artinya Constantin, diubah namanya menjadi Istambul yang artinya kota Islam. Sebagaimana halnya pada masa kerajaan Romawi Timur, kerajaan Turki Ustmani dengan ibu kota Istambul juga menjadi sebuah negara adi daya pada masa kejayaannya. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar wilayah Eropa Timur, Asia Kecil, dan Afrika Utara. Bahkan daerah-daerah Islam yang lebih jauh juga mengakui kekuasaan Istambul.

Etnolinguistik Kawasan Turki
Sekalipun secara kultural Turki sebagai bagian dari kawasan peradaban Islam Irani, tapi ia sendiri merupakan sebagai bagian dari wilayah peradaban Islam yang memiliki corak dan keragaman yang berbeda dengan induknya (Persia-Irano). Turki merupakan wilayah kebudayaan Islam yang sangat luas dan beraneka ragam yang meliputi banyak etnik dan wilayah termasuk memainkan berbagai variasi lokal yang sangat menonjol, terutama di wilayah-wilayah Eropa yang kelak meninggalkan jejak sejarah etnik dan agama yang sangat panjang.
Dalam pendekatan etnolinguistik, orang-orang yang berbicara dalam berbagai bentuk bahasa Turki tidak membentuk satu kawasan kultural tersendiri, tapi telah memproyeksikan keragaman yang cukup fenomenal di dunia Islam, khususnya wilayah-wilayah Atlantik. Mereka yang tinggal di Asia Tengah dan transoxiana dimana unsur etnis Turki dan faktor-faktor kultural Persia yang benar-benar berbaur kemudian membentuk suatu kawasan tersendiri yang juga ditandai oleh kehadiran unsur-unsur dan karakter nomadik yang cukup kuat. Aspek lain dari ciri kebudayaan Turki di Asia Tengah adalah juga mengandung elemen-elemen mongol, yang bisa jadi akan sulit ditemukan diseputar kawasan kebudayaan Turki lainnya.
Kaukasus merupakan daerah yang terbentuk dari unsur-unsur Turki, dan Persia termasuk unsur-unsur Armenia serta Georgia. Dalam komposisi etniknya, juga dalam cita rasa keseniannya, telah menunjukan wilayah kultural tersendiri yang terkait erat dengan Persia.
Wilayah-wilayah muslim di Balkan terutama di Yugoslafia dan Albania, yang walaupun secara etnis berbeda, namun keduanya telah diresapi secara mendalam oleh karakteristik Islam Turki secara umum kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai penyebaran orde sufi Turki, Bektasiyah dan Maulafiyah, pemilihan mazhab hukum Hanafi sebagaimana kebiasaan orang-orang Turki, bentuk-bentuk arsitektur masjid, termasuk juga pada peniruan mereka terhadap kesustraan Turki dalam jumlah yang cukup besar. Keseluruhannya telah menunjukan dan menyebabkan wilayah kebudayaan di Balkan terkait erat kebudayaan dunia Turki.[15]   

Bidang Arsitektur
Dalam bidang arsitektur, masjid-masjid yang dibangun membuktikan kemajuannya. Masjid merupakan suatu ciri dari sebuah kota Islam, tempat kaum muslimin menjalankan kewajiban ibadahnya. Gereja Aya Sophia, setelah ditaklukkan kaum muslimin diubah menjadi sebuah masjid agung yang terpenting di Istambul. Beberapa masjid yang megah didirikan di Istambul, antara lain: Masjid Agung Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Abu Ayub Al-Abshari, Masjid Bayazid dengan arsitektur Persia, dan Masjid Sulaiman Al-Qununi.[16]

Bidang Militer
Dengan adanya kondisi objektif yang dihadapi Turki Utsmani para pemimpin mewujudkan negara yang berdasarkan sistem dan prinsip kemiliteran. Pecahnya perang dengan Bizantium misalnya mengilhami khalifah-khalifah Orkhan untuk mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan militer sehingga terbentuklah sebuah kesatuan militer yang disebut yeniseri  atau Inkisariyah (Arab). Kebijakan kemiliteran ini lebih dikembangkan oleh pengganti Orkhan, yaitu Murad dengan membentuk sejumlah korps atau cabang-cabang yeniseri. Seluruh pasukan militer dididik dan dilatih dalam sarana militter dengan pembekalan semangat perjuangan Islam. Kekuatan militer yeniseri ini berhasil mengubah negara Utsmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan dorongan sangat besar bagi penaklukan negeri-negeri non muslim.

Bidang Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Turki Ustmani, para sultan bukan hanya merebut negeri-negeri Arab, tetapi juga seluruh wilayah antara Kaukasus dan kota Wina, bahkan sampai ke Balkan. Dengan demikian, tumbuhlah pusat-pusat Islam di Trace, Macedonia, Thessaly, Bosnia, Herzegovina, Bulgaria, Albania, dan sekitarnya. Eksistensi Turki Ustani sangat diperhitungkan oleh ahli-ahli politik Barat. Hal ini didasarkan pada realita sejarah bahwa selama berabad-abad kekuasaannya, Turki telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan peradaban, baik dikawasan negara-negara Arab, Asia, atau bahkan Eropa.[17]
Pengaruh jatuhnya Konstantinopel besar sekali bagi Turki Ustmani. Kota tua itu adalah pusat Kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu pengetahuan dan menjadi pusat agama Kristen Ortodoks. Kesemuanya itu diwarisi oleh Ustmani.dari segi letak, kota itu sangat strategis karena menghubungkan dua benua secara langsung, yaitu Eropa dan Asia.
Istambul merupakan pusat peradaban Islam pada masa kekuasaan Turki Ustmani yang terpenting. Bukan saja karena keindahan kotanya, tetapi juga karena di kota bekas pusat kekuasaan Romawi Timur itu terdapat pusat kajian keilmuan yang mendorong puncak kejayaan peradaban umat Islam.[18]


IV.          KESIMPULAN
Pusat peradaban Islam di Timur Tengah tersebar di beberapa wilayah diantaranya Turki, Persia, Mesir dan Irak. Kemajuan- kemajuan yang terjadi di wilayah tersebut seperti Irak yaitu berupa ilmu pengetahuan, Musik, sastra, dan filsafat. Sedangkan di Persia peradabanya lebih menekankan pada Ilmu Pengetahuan, selain itu disana jugabanyak didirikan masjid-masjid tempat peribadatan.
Di kawasan Turki, banyak hal yang menjadi bukti adanya perkembangan Turki pada masa itu. Perkembangan dibidang arsitektur, etnis, pemerintahan menjadikan keberagaman di kawasan Turki.
Begitu pula di kawasan baghdad, banyak para ilmuan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang dituntutnya. Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradapan Islam keseluruh dunia. Prestise, supremasi ekonomi, dan aktivis intelektual merupakan tiga keistimewaan kota ini.

  V.          PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang kami buat. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.










DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH
Hitti, Philip K. 2005. History of  the Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Khusaery, Ahmaal. 2003. Sejarah Islam. Cet. 1. Penerj: Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta Timur: Prenada Media
Syalabi, A. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta Selatan: PT. Al Husna Zikra
Syukur, Fatah. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Yahya, Mochtar. 1985. Perpindahan- Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Yatim, Badri. 2001. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Grafindo Persada
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
---------------. 2009. Study Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo




[1] Fatah Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 103
[2]  A. Syalabi, Sejarahdan  Kebudayaan Islam 3, (Jakarta Selatan: PT. Al Husna Zikra, 1997),  hlm. 177
[3]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), hlm. 277-278
[4] Badri Yatim, ibid, hlm. 278-279
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 194
[6] Musyrifah Sunanto, Ibid, hlm. 197
[7] Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 281
[8] Mochtar Yahya, Perpindahan- Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985), hlm. 442- 423
[9] Ahmad al-Khusaery, Sejarah Islam, Penerj: Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media Eka sarana, 2003), cet. 1, hlm. 416
[10]  Philip K. Hitti, History of  the Arabs,  (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 787
[11] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 118-119
[12] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : AMZAH, 2009 ), hlm. 287
[13]  Syamsul Munir, Ibid, hlm. 289-290
[14]  Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), hlm. 180-181
[15] Ajid Thohir, Study Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-politik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2009), hlm. 223-227
[16]  Syamsul Munir, Op. Cit, hlm. 290-291
[17] Ajid Thohir, Op. Cit, hlm. 181
[18] Syamsul Munir, Ibid, hlm. 291

3 komentar: