PENDEKATAN FENOMENOLOGI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Perbandingan Agama
Dosen Pengampu: Afnan Anshori
Disusun Oleh:
Devi Masfiatus Sa’adah 083111009
Lathifatus Syifa 103111121
Makhfudz Sazali 103111122
Malikhah 103111123
Maria Ulfa 103111124
Maulida Khoirun Ni’mah 103111125
Mu’alifin 103111126
Mohammad Kholid Mawardi 103111127
Nafi’atur Rohmaniyah 103111128
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
PENDEKATAN FENOMENOLOGI
I.
PENDAHULUAN
Pengikut fenomenologi
agama menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi yang utama untuk
memahami arti dari ekspresi-ekspresi religius, seperti kurban, ritus, dewa-dewa
dan lain sebagainya.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian Fenomenologi?
B. Siapa Tokoh dan Apa Pemikirannya?
C. Bagaimana Fenomenologi dalam Agama?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani yaitu:
phainomenon: gejala dan logos: perkataan atau ajaran. Dalam
falsafah dan psikologi: pengamatan teliti atas suatu gejala, tanpa
mempermasalahkan asal gejalan tersebut. Fenomenologi merupakan suatu metode
untuk memandang suatu gejala sebagaimana adanya, sebelum menyatakan suatu
kesimpulan dan dalam apa yang disebut pengamatan hakekat.[1]
B.
Tokoh dan Pemikirannya
Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh.
Tokoh-tokoh utamanya antara lain adalah Edmund Husserl (1859-1953) dari jerman,
Merleau Ponty (1908-1961) dari Perancis.[2] Kemudian
yang memasukkan
istilah fenomenologi ke dalam Ilmu Agama adalah Pierre David Chantepie de la
Saussaye (1848-1920). Menurut Saussaye fenomenologi adalah “pensisteman dan
klasifikasi aspek-asoek yang terpenting dari prilaku keagamaan dan dari ide-ide
keagamaan”, bukan tentang renungan mengenai ide-ide keagamaan, karena hal ini
menjadi tugas para filsuf agama.[3]
1. Edmund Husserl (1859-1935)
Edmund Gustav Albrecht Husserl (lahir di ProstÄ›jov (Prossnitz), Moravia, Ceko, 8 April 1859 – meninggal di Freiburg, Jerman, 26 April 1938 pada umur 79
tahun) adalah seorang filsuf Jerman, yang
dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang
murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya,
dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan
kita tentang fenomena obyektif.
Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Proßnitz), Moravia, Ceko (yang saat itu
merupakan bagian dari Kekaisaran
Austria). Husserl adalah
murid Franz
Brentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya memengaruhi, antara
lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen
Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman
Ingarden. Pada 1887
Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan
bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai
seorang tutor (Privatdozent) dari 1887, lalu di Göttingen sebagai
profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun
pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannay dan menulis dengan
menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya -
karena ia keturunan Yahudi - yang saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian
karena pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger.[4]
Menurut Husserl,
fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang
memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar
dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.”
Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil.
Reduksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan
terdapat “pengurangan sebuah keberadaan,” yaitu dengan mengesampingkan
pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan. Berangkat
dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian
menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah epochè
dan eiditic vision.
a. Epochè vision. Kata epochè
berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan”
(bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena
pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah
sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
b. Eidetic vision berarti “yang terlihat”
atau pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman kognitif
(intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu
fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.[5]
2. Merleau Ponty (1908-1961)
C. Fenomenologi Agama
fenomenologi agama menurut pengertian yang diberikan oleh James L. Cox.
Dengan menggunakan konsep-konsep Husserl, Cox mendefinisikan fenomenologi agama
dengan pengertian sebagai berikut:
A method adapting the
procedures of epoché (suspension of previous judgments) and eidetic intuition
(seeing into the meaning of religion) to the study of the varied of symbollic
expressions of that which people appropriately respond to as being unrestricted
value for them.
[Sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epoché (penundaan
penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat ke dalam makna
agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi simbolik yang direspons oleh
orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka].[6]
Didalam fenomenologi agama
terdapat dua prinsip yaitu: pertama, epoche ialah penilaian yang
dikonsepkan sebelumnya harus ditunda sampai fenomena itu sendiri bicara untuk
dirinya.
Bidang studi feomenologi
agama meliputi fakta religius yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan,
dan maksud-maksud dari seseorang, yang diungkapkan dalam tindakan-tindakan luar
yang penuh arti. Fakta religius bersifat subjektif , artinya merupakan keadaan
mental dari manusia religius, dalam caranya melihat hal-hal atau
menginterpretasikannya. Fakta ini dan kaitan-kaitannya sekaligus bersifat
objektif, bukan karena sebagai tindakan budi yang berpikir melainkan sebagai
sesuatu yang kebenarannya dapat dibuktikan oleh para pengamat yang independen.[7]
Didalam fenomenologi agama
terdapat dua prinsip
Aplikasi pendekatan
fenomenologis dalam penelitian agama menurut Cresswell, harus melalui prosedur
penelitian fenomenologis sebagai berikut:[8]
1. Peneliti perlu memahami perspektif filosofis di balik pendekatan itu,
khususnya konsep tentang mempelajari bagaimana orang mengalami fenomena.
2. Peneliti menulis pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna
dari suatu pengalaman bagi individu dan meminta individu untuk menggambarkan
pengalaman hidup mereka sehari-hari.
3. Peneliti kemudian mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena
yang sedang diteliti. Khususnya, informasi ini dikumpulkan melalui wawancara
yang panjang (ditambah dengan refleksi-diri dan deskripsi-deskripsi yang
dikembangkan sebelumnya dari karya-karya artistik) dengan informan yang terdiri
dari 5 hingga 25 orang.
4. Langkah-langkah analisis data fenomenologis pada umumnya sama dengan semua
fenomenolog psikologis yang mendiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog
psikologis menggunakan sejumlah rangkaian langkah yang sama. Rancangan prosedur
dibagi ke dalam pernyataan-pernyataan atau horisonalisasi. Kemudian unit-unit
ditransformasikan ke dalam cluster of meanings (kumpulan makna) yang
diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau fenomenologis. Terakhir,
transformasi-transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat deskripsi umum
tentang pengalaman, deskripsi tekstural tentang apa yang dialami dan deskripsi
struktural tentang bagaimana ia dialami. Sebagian fenomenolog membuat variasi
dari pendekatan ini dengan memasukkan makna pengalaman personal, dengan
menggunakan analisis subjek-tunggal sebelum analisis antar-subjek, dan dengan
menganalisa peran konteks dalam prosesnya.
5. Laporan fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang lebih baik dari
pembaca tentang struktur (esensi) yang esensial, tidak berubah dari pengalaman,
sembari mengakui bahwa makna tunggal yang utuh dari pengalaman itu eksis.
I.
KESIMPULAN
Fenomenologi merupakan suatu metode untuk
memandang suatu gejala sebagaimana adanya, sebelum menyatakan suatu kesimpulan
dan dalam apa yang disebut pengamatan hakekat.
Menurut salah satu tokoh pemikir metode fenomenologi, yakni Husserl,
fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang
memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar
dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.”
Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil.
Bidang studi feomenologi
agama meliputi fakta religius yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran,
perasaan-perasaan, dan maksud-maksud dari seseorang, yang diungkapkan dalam
tindakan-tindakan luar yang penuh arti. Fakta religius bersifat subjektif,
artinya merupakan keadaan mental dari manusia religius, dalam caranya melihat
hal-hal atau menginterpretasikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. 1996. Perbandingan Agama 2. Jakarta:
Bumi Aksara
Dhavamony, Maria Susai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta:
Kanisius
Shandily, Hassan, dkk. t.t. Ensiklopedi
Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru
Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi
Aksara
http://id.wikipedia.org/wiki/Edmund_Husserl, 5.11.12, 14.24
http://bangrusli.blogspot.com/2009/12/pendekatan-fenomenologi-dalam-studi.html, diakses 5.11.12, 15.01
[2] Dr. Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama 2, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), hlm. 70
[8]http://bangrusli.blogspot.com/2009/12/pendekatan-fenomenologi-dalam-studi.html, diakses 5.11.12, 15.01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar