Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 24 Juni 2013

Teori Belajar



I.       PENDAHULUAN
Setiap pelajar mempunyai kewajiban yaitu belajar. Belajar dapat menunjang peserta didik untuk menjadi pintar dan cerdas. Untuk mencapai itu, kita harus belajar dengan cara yang tepat. Bagaimanakah caranya, pastilah itu menjadi  bahan pemikiran oleh setiap orang yang memikirkan masalah belajar sejak zaman dulu. Akan tetapi, tidak semua orang yang memikirkan soal ini telah merumuskannya secara eksplisit.
Perumusan yang secara jelas mula- mula kiranya kita dapatkan pada para ahli psikologi skolastik, yang kemudian dilanjutkan oleh ahli- ahli dan golongan kontra reormasi. Selanjutnya kita dapatkan perumusan yang lebih jelas lagi pada para ahli psikologi dan herbart dan ahli- ahli psikologi asosiasi.
Semua konsepsi yang dikemukakan itu disusun atas dasar pemikiran spekulatif. Kemudian munculnya Ebbinghaus psikologi belajar memasuki babak baru, yaitu masa eksperimental; dan semua teori yang disusun sesudah itu adalah teori- teori berdasarkan pada penemuan eksperimental.[1]
Dewasa ini terdapat bermacam- macam teori belajar, seperti teori belajar skolastik, behaviorisme, Gestalt, pavlovianisme, teori Conditioning, teori kognitif, Humanistik dan lain- lain. Maka untuk memperjelas tentang teori- teori dalam belajar, maka dalam makalah ini akan membahas masalah tersebut.  
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Teori Belajar ?
B.     Sebutkan beberapa Teori balajar menurut para ahli ?
III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teori Belajar
Teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan antara konsep- konsep tersebut untuk membantu kita memahami sebuah fenomena. Gagne, dalam bukunya  the Conditions of learning (1977) menyatakan bahwa “ belajar adalah terjadi apabila suatu stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance- nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi”.[2] Jadi teori belajar adalah sebuah konsep yang abstrak yang membantu peserta didik untuk belajar.


B.     Beberapa teori belajar menurut para ahli
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan dengan itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Di dalam masa perkembangan psikologi pendidikan ini muncullah beberapa aliran psikologi pendidikan, diantaranya yaitu :
1.      Psikologi  behavioristik
Psikologi Aliran behavioristik mulai berkembang sejak lahirnya teori- teori tentang belajar yang dipelopori oleh Thorndike, Pavlov, Watson, dan Guthrie. Mereka masing- msing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan penemuan- penemuan yang berharga mengenai hal belajar. Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati. Teori- teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur- unsur seperti halnya molekul- molekul.  
Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu : (1). Mengutamakan unsur- unsur atau bagian- bagian kecil, (2). bersifat mekanistik, (3). menekankan peranan  lingkunan, (4). mementingkan pembentukan reaksi respon, (5). menekankan pentingnya latihan.
Koneksionisme, merupakan teori yang paling awal dari rumpun Behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara perangsang- jawaban atau stimulus- respons. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus- respons sebanyak banyaknya. Siapa yang menguasai hubungan stimulus- respons sebanyak- banyaknya ialah orang yang pandai atau yang berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus- respons dilakukan melalui ulangan- ulangan. Dengan demikian teori ini memiliki kesamaan dalam cara mengajarnya dengan teori Psikologi daya atau Herbastisme.
Tokoh yang sangat terkenal dari teori ini adalah Thorndike. Belajar pada binatang yang juga berlaku bagi manusia menurut thorndike adalah trial n error. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar. Pertama, law of readiness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Ketiga, law of effect,belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. [3]
2.      Teori Pavlovionisme conditioning
Teori pengkondisian (conditioning), merupakan perkembangan lebih lanjut dari koneksionisme. Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan Pavlov dengan keluarnya air liur. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaanya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing.
Setelah diulang berkali- kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun makananya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Kebiasaan makan atau mandi pada jam tertentu, kebiasaan berpakaian, masuk kantor, kebiasaan belajar, bekerja dll. Terbentuk karena pengkondisian.
Kelanjutan dari teori pavlov, John. B.Watson (1878- 1958) adalah orang yang pertama amerika serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penilitian pavlov. Watson berpendapat, “bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks- refleks atau respons- respons bersyarat melslui stimulus pengganti”. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi- reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan- hubungan stimulus respon melalui conditioning.[4]
Salah satu percobaanya adalah terhadap anak umur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan proses ekstrinsik, dengan engulang stimulus tak bersyarat.
E.R Guthrie (1886- 1959) memperluas penemuan watson tentang belajar. Ia mengemukakan prinsip belajar yang disebut “the law of association” yang berbunyi: suatu kombinasi stimulus yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimulus itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama anda akan mengerjakan hal serupa lagi.[5]
3.      Teori Skinner : operant Conditioning
Seperti pavlov dan Watson, skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan respons, tetapi berbeda dengan kedua tokoh yang terdahulu itu, skinner membuat perincian lebih jauh. Sikinner membedakan adanya dua macam respons, yaitu :
a.       Respondent response (reflexive response), yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang- perangsang tertentu. Perangsang- perangsang  yang edmikian itu, yang disebut eliciting stimuli, menimbulkan respons- respons yang secara relatif tetap, misalnya makanan yang menimbulkan keluarnya aiu liaur.
b.      Operant response (instrumental respons) respons yang timbul dan berkembang diikuti oleh perangsang- perangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing stimuli atau reinfocer, karena perangsang- perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Jadi, perangsang yang demikian itu mengikuti (dan karenanya memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Jika seorang anak belajar (telah melakukan perbuatan), lalu mendapatkan hadiah, maka dia akan menjadi lebih giat belajar (reapons- nya menjadi lebih intensif / kuat).[6]
4.      Psikologi kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Teori ini sangat erat kaitannya dengan teori sinerbetik.
Teori kognitif berbeda dengan Behaviorisme, bahwa yang utama dalam kehidupan manusia adalah mengetahui (Knowing) dan bukan respons. Teori ini menekankan pada peristiwa mental, bukan hubungan stimulus respons. Perilaku juga penting sebagai indikator, tetapi yang lebih penting adalah berpikir.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun diri individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Poses ini tidak berjalan terpatah- patah, terpisah- pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung- sambung, menyeluruh. Ibarat seseorang memainkan musik, orang ini tidak “memahami”  not- not balok yang terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas berdiri sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang secara utuh masuk ke pikiran dan perasaannya.[7] Tiga tokoh penting pengembang teori psikologi kognitif, yaitu :
1.      Piaget, yang mengemukakan tentang perkembangan kognitif anak sesuai dengan perkembangan usia.
2.      Brunner, yang mengembangkan psikologi kognitif dengan menemukan metode belajar “discovery”
3.      Ausubel, yang berpendapat : jika pengetahua disusun dan disajikan dengan baik, siswa akan dapat belajar dengan efektif melalui buku teks dan metode- metode ceramah.[8]
5.      Teori Gestalt
Peletak dasar psikologi Gestalt adalah Max Wertheimer (1886- 1943) ynag meneliti tentang pengamatan dan problem solving.  Gestalt berarti bentuk, lebih luas lagi cara dan juga saripati. Perkataan ini menjadi istilah tetap dalam psikologi, tidak diterjemahkan kedalam bahasa asing Lawan dari bentuk ialah isi. Dalam hubungan ini psikologi Gestalt dapat dipandang sebagai lawan dari Inhaltspsychologie (ilmu jiwa isi) dari Wundt.[9]Sumbangan ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886- 1941), yang menguraikan secara terperinci tentang hukum- hukum pengamatan; kemudian Wolfgang Kohler (1887- 1959) yang meneliti tentang “insight” pada simpanse. Penelitian – penelitian mereka menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum Gestaltis berpendapat, bahwa pengalama itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Orang yang belajar, mengamati stimulus dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian- bagian yang terpisah.
             Suatu konsep yang penting dalam psikologi gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan/ pemahaman mendadak terhadap suatu hubungan- hubungan antar bagian- bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha” atau ”oh, I see now”.[10]
             Jadi, “insight” menurut aliran ini adalah dimengertinya persoalan, dimengertinya hubungan tertentu, antara berbagai unsur dalam situasi tertentu, hingga hubungan tersebut jelas dan akhirnya didapatkan kemampuan memecahkan problem, bukan mengulang- ulang bahan yang dipelajari. Insight dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :
a.       Sikap dan taraf kompleksitas situasi
b.      Pengalaman
c.       Intelegensi dan kematangan individu.[11]
6.      Teori Humanistik
Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada diri manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori humanistik inilah yang plaing abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikn.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal  daripada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar teori ini sangat bersifat elektik. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualiasasi diri sebagainya itu) dapat dicapai.
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel (1968) yang disebut “belajar bermakna” atau Meaningful Learning. Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk kedalam kubu teori ini adalah kolb, honey dan Mumford, serta Habemas.[12]

7.      Aliran Skolastik
Kelompok ini beranggapan bahwa belajar tidak adalah mengulang- ulang bahan yang dipelajari makin sering diulang makin dikuasai.
8.      Teori Aliran Ilmu Jiwa Daya
Mereka beranggapan bahwa jiwa manusia mempunyai berbagai daya, misalnya daya mengenal, daya mengingat, daya berkhayal, daya berpikir, dan sejenisnya. Daya- daya tersebut dapat diperkuat dan diperbaiki difungsinya dengan dilatih. Misalnya untuk melatih daya mengingat dengan jalan menghafalkan angka- angka, huruf- huruf, ungkapan- ungkapan, yang penting disini adalah pembentukan dan penguatan daya ingat.
Demikian daya pikir bisa dilatih dengan menggunakan masalah- masalah yang sulit- sulit secara terus- menerus. Daya fantasi dengan kesusastraan. Perlu diingat, aliran ini lebih mementingkan pembentukan daya-daya daripada bahan pelajaran. Dengan daya- daya yang mapan dan telah terlatih akan bisa digunakan terhadap segala macam soal atau bahan dalam bidang yang lain.[13]


IV. KESIMPULAN
Ada beberapa teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya : aliran behavioristik disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati. Dalam aliran ini terdapat rentetan atau kelanjutan tindakan dari behavioristik, diantaranya konektionisme tokohnya yaitu Thorndike., ada teori Conditioning oleh pavlof, penemuan pavlof dilanjutkan oleh watson dan Guthrie.
Teori yang ke dua adalah aliran kognitif. Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Tokohnya, piaget,  jerume brunner dan ausubel. Teori kognitif ini muncul karena pengaruh dari teori gestalt yang berbicara tentang “insight” yaitu pemahaman mendadak terhadap hubungan- hubungan antar bagian- bagian di dalam suatu permasalahan.
Terdapat juga teori humanistik yang lebih bersifat absrak, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal  daripada belajar seperti apa adansya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Selanjutnya teori skolastik dan teori ilmu jiwa daya, teori ini mengemukakan bahwa jiwa manusia mempunyai berbagai daya, misalnya daya mengenal, daya mengingat, daya berkhayal, daya berpikir, dan sejenisnya.
V.    PENUTUP  
Demikianlah makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat untuk pembaca dan pemakalah khususnya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Sehingga kami mohon kritik dan saran dari para pembaca yang dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi pemakalah.









DAFTAR PUSTAKA

Dalyono, Muhammad.  Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.  2009
Mustaqim.  Psikologi pendidikan. Semarang : Fakultas tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.  2001
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung:  PT. Remaja Rosdakarya. 1990
Said, H. Muh, dkk. Psikologi dari zaman ke zaman. Bandung: Jemmars Bandung. 1990
Soemanto Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT.Rineka Cipta. 1990
Sukmadinata, Nana Syaodih.  Landasan Psikologi Dalam Pendidikan.  Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.  2009
Suryabrata, Sumardi. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo.  2004
  
  Uno, B. Hamzah. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta : PT.Bumi Aksara. 2008


[1] Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), hlm238
[2] Ngalim Purwanto, Psikologi pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 84
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Dalam Pendidikan, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2009 ), hlm. 168
[4] Ibid, hlm 169
[5] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hlm. 32
[6] Sumadi suryabrata, Opcit, hlm. 271
[7] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran,  (Jakarta:, PT.Bumi Aksara, 2008), hlm. 10
[8] Wasty soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1990), hlm. 210
[9] H. Muh Said, dkk, Psikologi dari zaman ke zaman, (Bandung: Jemmars Bandung, 1990), hlm. 168
[10] M. Dalyono, Op.Cit, hlm. 35
[11] H. Mustaqim, Psikologi pendidikan, ( semarang : Fakultas tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2001), hlm. 58
[12] Hamzah B. Uno, Op.Cit, hlm. 13
[13] H. Mustaqim, Op.Cit, hlm. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar