Setiap pelajar
mempunyai kewajiban yaitu belajar. Belajar dapat menunjang peserta didik untuk
menjadi pintar dan cerdas. Untuk mencapai itu, kita harus belajar dengan cara
yang tepat. Bagaimanakah caranya, pastilah itu menjadi bahan pemikiran oleh setiap orang yang
memikirkan masalah belajar sejak zaman dulu. Akan tetapi, tidak semua orang
yang memikirkan soal ini telah merumuskannya secara eksplisit.
Perumusan yang
secara jelas mula- mula kiranya kita dapatkan pada para ahli psikologi
skolastik, yang kemudian dilanjutkan oleh ahli- ahli dan golongan kontra
reormasi. Selanjutnya kita dapatkan perumusan yang lebih jelas lagi pada para
ahli psikologi dan herbart dan ahli- ahli psikologi asosiasi.
Semua konsepsi
yang dikemukakan itu disusun atas dasar pemikiran spekulatif. Kemudian
munculnya Ebbinghaus psikologi belajar memasuki babak baru, yaitu masa
eksperimental; dan semua teori yang disusun sesudah itu adalah teori- teori
berdasarkan pada penemuan eksperimental.[1]
Dewasa ini
terdapat bermacam- macam teori belajar, seperti teori belajar skolastik,
behaviorisme, Gestalt, pavlovianisme, teori Conditioning, teori kognitif,
Humanistik dan lain- lain. Maka untuk memperjelas tentang teori- teori dalam
belajar, maka dalam makalah ini akan membahas masalah tersebut.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa
Pengertian Teori Belajar ?
B.
Sebutkan
beberapa Teori balajar menurut para ahli ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Belajar
Teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan
adanya hubungan antara konsep- konsep tersebut untuk membantu kita memahami
sebuah fenomena. Gagne, dalam bukunya the Conditions of learning (1977)
menyatakan bahwa “ belajar adalah terjadi apabila suatu stimulus bersama dengan
isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya
(performance- nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu
sesudah ia mengalami situasi tadi”.[2] Jadi
teori belajar adalah sebuah konsep yang abstrak yang membantu peserta didik
untuk belajar.
B.
Beberapa
teori belajar menurut para ahli
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka bersamaan
dengan itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Di dalam masa
perkembangan psikologi pendidikan ini muncullah beberapa aliran psikologi
pendidikan, diantaranya yaitu :
1.
Psikologi behavioristik
Psikologi Aliran behavioristik mulai berkembang sejak lahirnya
teori- teori tentang belajar yang dipelopori oleh Thorndike, Pavlov, Watson,
dan Guthrie. Mereka masing- msing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan
penemuan- penemuan yang berharga mengenai hal belajar. Rumpun teori ini disebut
behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat
diamati. Teori- teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang
kehidupan individu terdiri atas unsur- unsur seperti halnya molekul- molekul.
Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu : (1). Mengutamakan
unsur- unsur atau bagian- bagian kecil, (2). bersifat mekanistik, (3).
menekankan peranan lingkunan, (4).
mementingkan pembentukan reaksi respon, (5). menekankan pentingnya latihan.
Koneksionisme, merupakan teori yang paling awal dari rumpun
Behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu
hubungan antara perangsang- jawaban atau stimulus- respons. Belajar adalah
pembentukan hubungan stimulus- respons sebanyak banyaknya. Siapa yang menguasai
hubungan stimulus- respons sebanyak- banyaknya ialah orang yang pandai atau
yang berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus- respons dilakukan
melalui ulangan- ulangan. Dengan demikian teori ini memiliki kesamaan dalam
cara mengajarnya dengan teori Psikologi daya atau Herbastisme.
Tokoh yang sangat terkenal dari teori ini adalah Thorndike. Belajar
pada binatang yang juga berlaku bagi manusia menurut thorndike adalah trial
n error. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar.
Pertama, law of readiness, belajar akan berhasil apabila individu
memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law of
exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Ketiga, law
of effect,belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil
yang baik. [3]
2.
Teori
Pavlovionisme conditioning
Teori pengkondisian (conditioning), merupakan perkembangan lebih
lanjut dari koneksionisme. Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan Pavlov
dengan keluarnya air liur. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium
bau makanan. Dalam percobaanya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan
makanan pada anjing.
Setelah diulang berkali- kali ternyata air liur tetap keluar bila
bel berbunyi meskipun makananya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
perilaku individu dapat dikondisikan. Belajar merupakan suatu upaya untuk
mengondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu.
Kebiasaan makan atau mandi pada jam tertentu, kebiasaan berpakaian, masuk
kantor, kebiasaan belajar, bekerja dll. Terbentuk karena pengkondisian.
Kelanjutan dari teori pavlov, John. B.Watson (1878- 1958) adalah
orang yang pertama amerika serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan
hasil penilitian pavlov. Watson berpendapat, “bahwa belajar merupakan proses
terjadinya refleks- refleks atau respons- respons bersyarat melslui stimulus
pengganti”. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan
reaksi- reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku
lainnya terbentuk oleh hubungan- hubungan stimulus respon melalui conditioning.[4]
Salah satu percobaanya adalah terhadap anak umur 11 bulan dengan
seekor tikus putih. Rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan proses
ekstrinsik, dengan engulang stimulus tak bersyarat.
E.R Guthrie (1886- 1959) memperluas penemuan watson tentang
belajar. Ia mengemukakan prinsip belajar yang disebut “the law of
association” yang berbunyi: suatu kombinasi stimulus yang telah menyertai
suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi
stimulus itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu
dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama anda akan
mengerjakan hal serupa lagi.[5]
3.
Teori
Skinner : operant Conditioning
Seperti pavlov dan Watson, skinner juga memikirkan tingkah laku
sebagai hubungan antara perangsang dan respons, tetapi berbeda dengan kedua
tokoh yang terdahulu itu, skinner membuat perincian lebih jauh. Sikinner
membedakan adanya dua macam respons, yaitu :
a.
Respondent
response (reflexive response),
yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang- perangsang tertentu.
Perangsang- perangsang yang edmikian
itu, yang disebut eliciting stimuli, menimbulkan respons- respons yang
secara relatif tetap, misalnya makanan yang menimbulkan keluarnya aiu liaur.
b.
Operant
response (instrumental respons)
respons yang timbul dan berkembang diikuti oleh perangsang- perangsang
tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing stimuli atau reinfocer,
karena perangsang- perangsang tersebut memperkuat respons yang telah
dilakukan oleh organisme. Jadi, perangsang yang demikian itu mengikuti (dan
karenanya memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Jika
seorang anak belajar (telah melakukan perbuatan), lalu mendapatkan hadiah, maka
dia akan menjadi lebih giat belajar (reapons- nya menjadi lebih intensif /
kuat).[6]
4.
Psikologi
kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih
mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut
aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks. Teori ini sangat erat kaitannya dengan teori sinerbetik.
Teori kognitif berbeda dengan Behaviorisme, bahwa yang utama dalam
kehidupan manusia adalah mengetahui (Knowing) dan bukan respons. Teori ini
menekankan pada peristiwa mental, bukan hubungan stimulus respons. Perilaku
juga penting sebagai indikator, tetapi yang lebih penting adalah berpikir.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun diri individu melalui
proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Poses ini tidak
berjalan terpatah- patah, terpisah- pisah, tetapi melalui proses yang mengalir,
bersambung- sambung, menyeluruh. Ibarat seseorang memainkan musik, orang ini
tidak “memahami” not- not balok yang
terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas berdiri sendiri,
tetapi sebagai satu kesatuan yang secara utuh masuk ke pikiran dan perasaannya.[7]
Tiga tokoh penting pengembang teori psikologi kognitif, yaitu :
1.
Piaget,
yang mengemukakan tentang perkembangan kognitif anak sesuai dengan perkembangan
usia.
2.
Brunner,
yang mengembangkan psikologi kognitif dengan menemukan metode belajar
“discovery”
3.
Ausubel,
yang berpendapat : jika pengetahua disusun dan disajikan dengan baik, siswa
akan dapat belajar dengan efektif melalui buku teks dan metode- metode ceramah.[8]
5.
Teori
Gestalt
Peletak dasar psikologi Gestalt adalah Max Wertheimer (1886- 1943)
ynag meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Gestalt berarti bentuk, lebih luas lagi cara
dan juga saripati. Perkataan ini menjadi istilah tetap dalam psikologi, tidak
diterjemahkan kedalam bahasa asing Lawan dari bentuk ialah isi. Dalam hubungan
ini psikologi Gestalt dapat dipandang sebagai lawan dari Inhaltspsychologie
(ilmu jiwa isi) dari Wundt.[9]Sumbangan
ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886- 1941), yang menguraikan secara terperinci
tentang hukum- hukum pengamatan; kemudian Wolfgang Kohler (1887- 1959) yang
meneliti tentang “insight” pada simpanse. Penelitian – penelitian mereka
menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi,
struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum Gestaltis berpendapat, bahwa
pengalama itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Orang yang
belajar, mengamati stimulus dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian-
bagian yang terpisah.
Suatu konsep yang penting dalam
psikologi gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan/ pemahaman
mendadak terhadap suatu hubungan- hubungan antar bagian- bagian di dalam suatu
situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha”
atau ”oh, I see now”.[10]
Jadi, “insight” menurut aliran ini adalah
dimengertinya persoalan, dimengertinya hubungan tertentu, antara berbagai unsur
dalam situasi tertentu, hingga hubungan tersebut jelas dan akhirnya didapatkan
kemampuan memecahkan problem, bukan mengulang- ulang bahan yang dipelajari.
Insight dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :
a.
Sikap
dan taraf kompleksitas situasi
b.
Pengalaman
c.
Intelegensi
dan kematangan individu.[11]
6.
Teori
Humanistik
Bagi
penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada diri manusia
itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori humanistik inilah yang plaing
abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikn.
Meskipun
teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar, dalam
kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih
tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar seperti apa adanya, seperti
apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar teori ini sangat
bersifat elektik. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk
“memanusiakan manusia” (mencapai aktualiasasi diri sebagainya itu) dapat
dicapai.
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang
diusulkan oleh Ausubel (1968) yang disebut “belajar bermakna” atau Meaningful
Learning. Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam
bentuk taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk kedalam
kubu teori ini adalah kolb, honey dan Mumford, serta Habemas.[12]
7.
Aliran
Skolastik
Kelompok ini beranggapan bahwa belajar tidak adalah mengulang-
ulang bahan yang dipelajari makin sering diulang makin dikuasai.
8.
Teori
Aliran Ilmu Jiwa Daya
Mereka beranggapan bahwa jiwa manusia mempunyai berbagai daya,
misalnya daya mengenal, daya mengingat, daya berkhayal, daya berpikir, dan
sejenisnya. Daya- daya tersebut dapat diperkuat dan diperbaiki difungsinya
dengan dilatih. Misalnya untuk melatih daya mengingat dengan jalan menghafalkan
angka- angka, huruf- huruf, ungkapan- ungkapan, yang penting disini adalah
pembentukan dan penguatan daya ingat.
Demikian daya pikir bisa dilatih dengan menggunakan masalah-
masalah yang sulit- sulit secara terus- menerus. Daya fantasi dengan
kesusastraan. Perlu diingat, aliran ini lebih mementingkan pembentukan
daya-daya daripada bahan pelajaran. Dengan daya- daya yang mapan dan telah
terlatih akan bisa digunakan terhadap segala macam soal atau bahan dalam bidang
yang lain.[13]
IV.
KESIMPULAN
Ada beberapa
teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya : aliran
behavioristik disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau
tingkah laku yang dapat diamati. Dalam aliran ini terdapat rentetan atau
kelanjutan tindakan dari behavioristik, diantaranya konektionisme tokohnya
yaitu Thorndike., ada teori Conditioning oleh pavlof, penemuan pavlof
dilanjutkan oleh watson dan Guthrie.
Teori yang ke
dua adalah aliran kognitif. Teori belajar kognitif merupakan suatu teori
belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu
sendiri. Tokohnya, piaget, jerume
brunner dan ausubel. Teori kognitif ini muncul karena pengaruh dari teori
gestalt yang berbicara tentang “insight” yaitu pemahaman mendadak terhadap
hubungan- hubungan antar bagian- bagian di dalam suatu permasalahan.
Terdapat juga
teori humanistik yang lebih bersifat absrak, teori ini lebih tertarik pada ide
belajar dalam bentuknya yang paling ideal
daripada belajar seperti apa adansya, seperti apa yang biasa kita amati
dalam dunia keseharian. Selanjutnya teori skolastik dan teori ilmu jiwa daya,
teori ini mengemukakan bahwa jiwa manusia mempunyai berbagai daya, misalnya
daya mengenal, daya mengingat, daya berkhayal, daya berpikir, dan sejenisnya.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat untuk pembaca dan
pemakalah khususnya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan
dalam penyusunan makalah ini. Sehingga kami mohon kritik dan saran dari para
pembaca yang dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA
Dalyono, Muhammad. Psikologi
Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
2009
Mustaqim. Psikologi pendidikan. Semarang :
Fakultas tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
2001
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1990
Said, H. Muh,
dkk. Psikologi dari zaman ke zaman. Bandung: Jemmars Bandung. 1990
Soemanto Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT.Rineka
Cipta. 1990
Sukmadinata,
Nana Syaodih. Landasan Psikologi
Dalam Pendidikan. Bandung :
PT.Remaja Rosdakarya. 2009
Suryabrata, Sumardi. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT.
Raja Grafindo. 2004
Uno, B. Hamzah. Orientasi
Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta : PT.Bumi Aksara. 2008
[1] Sumardi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004),
hlm238
[2] Ngalim
Purwanto, Psikologi pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990),
hlm. 84
[3] Nana Syaodih
Sukmadinata, Landasan Psikologi Dalam Pendidikan, (Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya, 2009 ), hlm. 168
[5] M. Dalyono, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hlm. 32
[6] Sumadi suryabrata,
Opcit, hlm. 271
[7] Hamzah B. Uno,
Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta:, PT.Bumi Aksara, 2008), hlm. 10
[8] Wasty
soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1990), hlm.
210
[9] H. Muh Said,
dkk, Psikologi dari zaman ke zaman, (Bandung: Jemmars Bandung, 1990),
hlm. 168
[10] M. Dalyono, Op.Cit,
hlm. 35
[11] H. Mustaqim, Psikologi
pendidikan, ( semarang : Fakultas tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2001),
hlm. 58
[12] Hamzah B. Uno,
Op.Cit, hlm. 13
[13] H. Mustaqim, Op.Cit,
hlm. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar